Senin, 20 Maret 2017

cerpen: Kalau saja Jasmin bisa bangun lebih pagi

SELAMAT PAGI SUSU


“Selamat pagi, SUSU!”
      Aku diam di dalam kamar sambil terus menulis di laptop, tiduran. Disampingku ada suami yang tidur beneran. Suara itu sudah 120 kali aku dengar setiap sabtu. Suara Pak Toha, pengantar susu murni langganan. Dia juga sudah biasa aku diamkan tanpa perlu aku menjemputnya di depan pintu. Seperti biasa dia sudah tahu menempatkan susunya. Biasanya susu botol itu dia taruh di depan pintu agak dekat tembok, sambil dia membawa kembali botol susu yang sudah kosong kiriman susu sabtu yang lalu. Dekat tembok itu berdiri berjajar tanaman hias koleksi aglaonema kesayanganku. Di antara koleksi aglaonema, yang menjadi favoritku adalah Donna Carmen. 
      Donna Carmen menjadi favoritku, karena tanaman yang sefamily dengan sri rejeki itu berdaun sedikit hijau dominan kuning, dibalut lapisan merah dipinggir daunnya. Kolektor biasa menyebutnya mutasi enam.  Warna merah itu kadang menyebar masuk lebih dalam lagi ke daun tengah, sehingga tanaman dengan tiga warna muda itu terlihat lebih eksotis. Harganya pun lebih fantastis. Untung aku dulu beli waktu masih kecil, masih tiga daun. Sekarang sudah sepuluh daun ada yang menawar tiga juta.
      Kalau aku tanam sepuluh pot, berarti dalam enam bulan aku sudah mendapatkan 30 juta, gila…. kalau sudah jodoh enak juga ya cari duit, aku tersenyum sendiri dengan hayalanku. Harga semahal itu, setelah berdaun sepuluh, dikarenakan banyak kolektor yang gagal membesarkan Donna Carmen. Dan dipasaran kolektor aglaonema Donna Carmen memang agak jarang. Ini dirumahku, Donna tumbuh subur. Aku tahu semua itu dari Pakde Google. Kalau sekarang saja aku mau jual, tinggal posting saja di komunitasnya, sudah dapat tiga juta. Rebutan lagi, gila…..
      Hmmmm, kapan ya aku mulai tanam sepuluh pot atau lebih banyak lagi, batinku sambil beranjak dari tempat tidur untuk mengambil susu Pak Toha di depan pintu. Sekaligus juga untuk melihat Donna Carmen tiga juta.
      Pak Toha datang pukul 07.00 dengan sepedanya yang sekarang mungkin dibilang agak unik. Karena jaman sekarang ini sudah bermotor, seharusnya Pak Toha seperti mereka, membawa motor juga. Karena dengan motor Pak Toha mampu menjelajah lebih jauh untuk memasarkan susunya. Dengan motor dapat menampung bawaan susu botol lebih banyak lagi. Tapi Pak Toha dengan sepedanya hanya mampu membawa 12 botol susu dengan kain putih yang diberi kantong. Kantong itu sebagai wadah susu yang disampirkan di gagang tengah sepeda onta. Entah sudah berapa jauh dia menjelajah kampung dengan sepeda ontanya.
      Hanya Pak Toha pengantar susu berumur 56 tahun yang punya akses masuk halamanku, setelah diberi tahu kunci rahasia yang tak digembok pagar halaman rumahku. Halaman rumahku itu banyak tanaman hias dengan banyak pot yang sebenarnya itu adalah bagian dari hobbyku. Saking hobbynya di salah satu pot ada tertulis namaku, Jasmin.

“Selamat pagi, SUSU!”
      Suara hari sabtu itu sudah 132 kalinya sekarang, sambil mataku melihat tanggal 24 Desember 2016 di laptop. Seperti biasa panggilan pukul tujuh Pak Toha itu aku diamkan disebelah suamiku yang tidur beneran. Biarkanlah, dia selama senin sampai jumat selalu bangun pukul empat pagi untuk kerja. Ini libur kesempatan baginya untuk tidur lebih lama, semacam melepas dendam. Dibandingkan dengan aku yang bekerja di dinas pertanian yang kadang aku berangkat lebih siang, pukul 07.00.
      Aku berjalan untuk menjemput susu murni kesukaanku di depan pintu. Tak lupa mataku menyapa Donna Carmen, “Hallo lima juta cantik…?” Sapaku. “Sekarang nilai kamu sudah lima juta loh, kata Pakde Google.”
       Aku mengamati lebih seksama lagi, “Loh kamu beranak ya?” melihat tunas yang muncul di bawahnya. Subhanalohhh…..
      “nDaru!!” teriakku, sedikit berlari masuk kamar tidur membisikkan ditelinga suamiku.
      “Donna Carmen beranak, mau lihat gak?” bisikku. Tapi dia diam saja sambil bibirnya ganyem-ganyem. Aku terus membayangkan, kenapa beli bibit 250 ribu kalau aku bisa memperbanyak sendiri? Aku membayangkan kelipatan lima juta.
      Aneh, ketika banyak orang tidak bisa memperbanyak anakkan Donna Carmen , aku kok, mudah ya?

***

“Selamat pagi, SUSU!”
      Setengah jam kemudian dengan malas aku membuka pintu depan untuk mengambil susu, sambil melirik Donna, “Hah!!” aku kaget.
     Ya Allah….anakan Donna Carmen hilang. Biasanya tunas itu ada disini, kesalku, sambil memutari Donna. Ditempat yang biasa tumbuh anakan terlihat ada bekas tanah berlubang yang mencabut hingga akarnya putus. Ini pasti di curi.
      Aku  memandang pintu pagar rumah, “Pak Toha,” desahku, aku geram dengan tukang susu itu.
      Siapa lagi kalau bukan dia yang usil, sekaligus pencurinya?
     
***

      Sudah dua bulan ini aku tidak lagi berlangganan susu murni itu. Buat apa kalau datang ke pintu rumahku tangannya jail? Waktu aku stop pengiriman susunya, sengaja tidak pernah bilang kalau aku kehilangan tunas anakan Donna Carmen. Tapi aku katakan seperlunya saja, bahwa aku tidak berlangganan lagi, berhenti minum susu. Dia, Pak Toha tidak bertanya alasannya, dia hanya membungkuk santun dan pamit dengan sepeda ontanya.
      Aglonema, khususnya si Donna seperti tahu kalau aku kehilangan tunas anaknya, dia pun penampilannya tidak segar dan cenderung pucat, aku jadi pilu. Harapan kelipatan lima juta sedikit-sedikit mulai pudar menyesakkan dada. Menulispun kepikiran si Donna terus. Si Donna nampaknya akan mati, karena bekas tarikan pencuri, akarnya lepas dari media tanah. Itu lama untuk beradaptasi lagi, tidak seimbang dengan penguapan transpirasi ditubuhnya.
      Aku berusaha untuk membeli tanaman anakan yang harganya sudah naik, 450 ribu tiga daun. Aku paksakan untuk membeli atas dasar hobby dan percaya diri bisa membesarkannya. Kenyataannya tanaman anakan Donna Carmen yang baru aku beli mati, tidak kurang dari dua minggu.
      Di bulan ke tiga, setelah lepas dari langganan susu, Donna Carmen yang lama yang pernah tumbuh sepuluh daun, benar-benar sudah mati. Potnya yang terbuat dari tembikar itu hanya menyisakan sampah kering bekas batangnya. Cita-citaku yang sempat tumbuh bersama si Donna hilang tuntas. Tiba-tiba Hp-ku berdering. Dari Dhani teman kantor suamiku.
      “Hallo Jasmin…? Ada berita gembira nih, sudah disampaikan belum sama nDaru?”
      “Berita gembira apa ya? “ hatiku mulai megar, sumiku dapat promosikah?
      “Itu tanaman aglaonema, Donna Carmen, pemberian suamimu tumbuh bagus dan indah sekali.”
      “Kapan nDaru kasihnya, ya?” tanyaku masih belum paham, sambil menenangkan diri juga.
      “sudah tiga bulan yang lalu, dari anakan tunas. Trimakasih ya…?”
      Itu sih berita sedih bukan gembira, batinku, sambil basi-basi menutup telepon. Oh… jadi nDaru toh tangan jail itu, sekaligus pencurinya. Aku menarik nafas, ingat Pak Toha penjual susu.
      Setelah berita telepon itu, aku memperingatkan suamiku dengan keras, sampai terjadi keributan membating pintu,  yang akhirnya aku menangkan. Dan dia merasa bersalah, kalah. Setelah tenang aku pingin tahu alasannya kenapa sampai tanaman kesayanganku dicabut secara kanibal begitu? Jawabannya sederhana, hanya ingin membuktikan kepada temannya Dhani, pencinta dan kolektor  juga,  bahwa aku istrinya mampu memperbanyak tanaman Donna Carmen itu.

      Aku  memangil kembali Pak Toha, seperti tidak terjadi apa-apa, dan mulai berlangganan susu lagi. Sambil hatiku bicara dengan diriku: kamu sudah memfitnah dengan dirimu sendiri atas sangkaan kepada tukang susu, Jasmin. Mintalah maaf sama Pak Toha. Lalu aku jawab: Sudah, aku sudah minta maaf dengan senyuman, dan aku sudah  lebihkan sedikit uang langganan.
“Selamat pagi, SUSU!”
      Ini sabtu ke sepuluh, aku mendengar Pak Toha si tukang susu datang ke pintu rumahku lagi. Berarti sudah dua bulan lebih, dari aku hentikan sebelumnya. Dengan malas seperti biasanya, aku turun dari tempat tidur meninggalkan suamiku yang pules tidur untuk mengambil susu botol di depan pintu.
      Hahh…!! Mulutku bundar,  Aglaonemaku tumbuh tunas, di sisa batang yang seharusnya sudah mati.
      “nDaru!!” teriakku, aku sedikit berlari masuk kamar tidur membisikkan ditelinga suamiku. “Si Donna Carmen hidup lagi.” Terlihat suamiku tersenyum dalam tidur.
      Kenapa tanaman yang sudah kering  dan hampir mati sekarang bertunas lagi? Aku tak habis berpikir. Apakah sugestiku sebenarmya nyambung dengan nyawa tanaman itu? Kalau aku sedih dia ikut bersedih dan mati? Ah, tidak. Masa seistimewa itu antara tanaman dan aku.

***

      Pukul 06.50, Pak Toha sudah masuk ke halaman rumah Jasmin. Dia berjalan merambat menyisir bentangan tanaman hias milik Jasmin disamping rumah. Dan sampai di depan pintu kamar, dia mengambil botol kosong yang masih sedikit berisi susu bekas. Sisa yang tidak tuntas di minum sabtu kemarin dia bersihkan dengan air kran ke dalam botol. Di kocoknya botol itu hingga menjadi putih, lalu campuran itu dibuangnya ke Pot tanaman Aglaonema Donna Carmen di sebelahnya. Dia menukar botol kosong yang sudah bersih tadi dengan botol susu isi. Jasmin yang sudah terbangun masih bermalas-malasan dengan laptopnya di dalam kamar, tak pernah tahu tingkah Pak Toha. Selama apapun Jasmin tak tahu formula yang membesarkan Donna, kalau dia tidak bisa bangun lebih awal dan menyambut Pak Toha si tukang susu. Pak Toha pun tak pernah peduli dengan kebiasaannya membuang air sisa susu menyebapkan Donna Carmen yang mahal tumbuh bagus. Dia hanya tukang pengantar susu, dan panggilan khasnya pukul 07.00.
“Selamat pagi, SUSU!”
      Setengah jam kemudian Jasmin membuka pintu, lalu masuk lagi dengan botol susu.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar