Sabtu, 25 November 2017

komandan angin sinopsis




Judul: Komandan Angin
Genre: Petualangan
Penulis: Imam Budiarso

Sinopsis



Perjalanan itu berjarak 58 kilometer dari Sukabumi menuju Bogor. Ken lalui semuanya sendiri dengan berjalan kaki, karena ini adalah perjalanan Nazar.
Dalam perjalanan dia ditemani oleh masa lalu. Langkah demi langkahnya adalah putaran ulang vidio yang sedang diputar di otaknya. Dia ingat dengan KOMANDAN ANGIN, nama sepeda penjelajah yang berjalan di atas rel kereta api hasil modifikasi Pakde Mus, dan teman-teman di asrama yang tidak takut mati: Menyusuri guha, mengarungi jeram sungai Ciliwung, berteman dengan hantu guha, perang pedang kayu kopi, melihat bom meledak merontokkan guha, dan bertemu sang pertapa.
Cerita ini adalah kisah tentang Ken yang kreatif bersama teman-temannya berpetualang dengan Komandan angin Ke Sukabumi dan Ciwidey Bandung Selatan. Mengacaukan pabrik kayu pembalakan liar. 
Tentang Sekolah Pertanian Menengah yang tak banyak diketahui orang, ada dibawah kaki gunung Gede dan ada Cinta yang mengantar mereka hingga ke IPB.





1

Pernah dikejar satpam?

Rantai penambat kayu sungai









      Pada hari minggu ketika para warga pemilik sawah berkumpul di balai desa, Ken dan teman-temannya menyiapkan kendaraan unik, komandan angin,  untuk pergi ke kebun Pak Hasan.
     Untuk menuju kebun Pak Hasan di Bukit Patuha yang berjarak tujuh kilometer, komandan angin melewati dua buah jembatan. Jembatan itu adalah jembatan Ciantik dan jembatan Rancagoong. Keduanya melewati  satu sungai yang sama, sungai Ciwidey yang melingkar membentuk huruf "U" tidak simetris. Jembatan Ciantik dilingkungan warga Ciwidey kurang populer karena bentuknya kecil, hanya memiliki panjang 30 meter.
      Dengan kecepatan 10 km per jam, melewati jembatan Ciantik komandan angin tidak mengalami kesulitan yang berarti, walau kewaspadaan harus tetap dijaga. Itu dapat dirasakan dari goyangan ketika berjalan di atasnya. Struktur bangunannya kuat tetapi tidak anggun dan banyak ditutupi oleh pepohonan merambat.
       Berbeda dengan jembatan kedua, Rancagoong, yang memiliki panjang kurang lebih 90 meter. Jembatan itu selain panjang, di atasnya banyak terdapat rangka besi yang sudah berkarat sebagai pilar-pilar penunjang kekuatan. Dan pada bagian ujung-ujung jembatan dibuatkan pondasi yang berlubang melengkung, seperti tembok besar. Dari jauh jembatan itu nampak seperti sebuah dam atau bendungan. Bila berjalan diatasnya (mungkin karena panjangnya dan sebagian pilar sudah terlepas) jembatan itu seperti bergoyang.
       Ken memberi komando untuk mengurangi kecepatan, karena kondisi jembatan rawan dilalui. Hal itu juga dibarengi dengan melipat layar komandan angin agar tidak disambar angin dengan tiba-tiba.
       Komandan angin mulai berjalan perlahan dengan kecepatan lima kilometer per jam. Sena, Citno, Toto, dan Suleman pelan menggenjot pedal dengan kakinya dalam satu irama. Pelan, terus merambat menuju ke tengah jembatan terpanjang itu.
       Di atas sana tim komandan angin merasa seperti berada di suasana lain, seperti terbang di angkasa, melayang, tak ada lagi pandangan dekat.
       Betapa mengerikan berada di atas jembatan Rancagoong. Waktu bagi yang takut rasanya begitu panjang. Seperti Sena, dia tak mau membuka matanya. Citnopun demikian. Hanya Ken, Suleman dan Toto yang menikmati ini, menikmati terbang.
       Toto mulai jail dengan melempar ranting kering kepada Suleman yang duduk di depannya.
       Ketika Suleman menoleh ke belakang, Toto mengarahkan jarinya menunjuk Sena dan Citno yang sedang memejamkan mata, seperti sedang berdoa.
      "Takut. . ." kata Toto berbisik, sambil menutup mulut.
      Suleman tersenyum.
      "Aku denger," kata Sena.
       Ken mengawasi ulah mereka. Takut candanya di tengah jembatan ini keterlaluan.
       Di bawah jembatan mengalir sungai Ciwidey yang tenang, warnanya kuning muda. Di pinggir kiri terdapat dua buah truk menurunkan kayu gelondongan untuk dihanyutkan ke sungai. Ken memperhatikan itu. Lebih jauh dia merasa kenal dengan beberapa penumpang yang berada di atas truk.
       "Ssstttt Sena!" bisik Ken kepada Sena yang duduk di depannya.
       Sena terpaksa sekali menoleh, sambil menutup matanya dengan tangan.
      "Kamu kenal dengan orang itu, yang sedang berdiri tolak pinggang di atas truk? Mereka sedang membelakangi kita, jangan berisik!" tambah Ken.
       Sena menengok ke bawah jembatan, walaupun takut, dipaksakan juga.
       "Itukan si Upay temannya Udel," kata Sena
       Citno yang sedang merem tiba-tiba melek.
       "Ya Cit! Itu si Upay kan?" Sena minta penegasan.
      Citno memincingkan matanya serius melihat ke bawah. Toto, Suleman yang mendengar mengikuti melihat ke bawah.
      "Benar Ken! Itu dia yang kita lihat di kebun Pak Hasan kemarin," jawab Citno.
      "Mau apa mereka ya?"
      "Cepat kita sembunyikan komandan angin ini sebelum mereka lihat kita!" seru Ken.
       Mereka dengan gerakan berirama mengayuh lebih kuat lagi agar cepat berlalu dari jembatan.
       Setelah sampai di ujung jembatan, "Ayo…kita intai mereka," ajak Sena, sambil turun dan menyembunyikan komandan angin di semakbelukar. Kemudian dia bergegas berlari menanjak menuju jembatan kereta api lagi. Sejenak Ken tertegun dengan gadis satu-satunya di tim yang bernama Sena. Sungguh dia itu pembrani dan cantik lagi.
       Di tempat tinggi yang tersembunyi dekat pohon pisang, Ken tiarap bersama temannya memperhatikan tingkah si Upay.
       "Mau di kemanakan kayu-kayu itu ya?" tanya Suleman.
       "Dia sepertinya mau membawa kayu itu lewat sungai, karena kalau lewat jalan darat banyak polisi. Dia takut hasil curiannya ketahuan, ini mencurigakan," jawab Ken.
      "Itu bisa juga. Yang jelas kayu itu mau di hanyutkan untuk sampai ketangan penadahnya," kata Sena.
       “Itu kayu curian? Mereka pencuri kayu?” tanya Citno setengah berbisik. Teman-temannya yang sedang konsentrasi mengamati pencuri tidak menggugris pertanyaan Citno.
        Benar saja, dari atas truk ketika di bongkar satu persatu, kayu-kayu itu terlihat dihanyutkan ke sungai. Tinggal Ken dan teman-temannya penasaran sampai di mana kayu-kayu itu dihanyutkan. Ken lalu bergerak menaiki bukit lebih tinggi lagi untuk melihat jalur sungai Ciwidey.
       "Mereka itu para pencuri kayu, aku pingin tau sampai di mana mereka berhenti," kata Ken sambil terus berjalan ke atas bukit. Nampak di bawah pemandangan sungai Ciwidey meliuk-liuk melingkar menghanyutkan kayu glondongan. Sementara jauh di sana terlihat jembatan Ciantik.
        Kurang lebih sekitar setengah kilometer Ken dan teman-temannya menyusuri bukit mengikuti jalur sungai, sampailah saat di mana kayu-kayu hanyut itu berhenti dan bertumpuk-tumpuk jadi satu. Di sana terlihat ada semacam gudang besar mirip pabrik. Limaratus meter di depan gudang itu terdapat jalan Raya Ciwidey. Di halaman gudang terlihat tumpukan kayu yang sudah jadi, yaitu kayu-kayu yang sudah dibentuk sesuai dengan ukurannya, siap dipasarkan.
       "Jadi begitu ya caranya mereka?" Sena menggerutu sendiri melihat pemandangan itu.
       "Rupanya gudang itu pabrik kayu," lanjutnya.
       "Coba lihat di sana ada tumpukan kayu glondongan yang mau diolah, itu kayu albasia," kata Suleman.
       "Ya, Itu kayu legal, hasil dari kebun sendiri. Dia berani lewat jalan besar Ciwidey karena hasil kebun sendiri suratnya sudah lengkap.”
      “Tapi yang itu!" Ken menunjuk  Sungai.
      "Itu hasil Curian, ilegal. Di sana, selain kayu pinus juga banyak glondongan dari jenis kayu lain. Lihat! ada kayu jatinya juga, padahal umurnya belum cukup," kata Ken.
       "Banyak sekali kayu yang berhenti," Toto heran.
       "Mereka sedang ngangkatin ke atas dari sungai," Citno menunjuk beberapa orang sedang mengangkat kayu ke atas sungai dan ditumpuk jadi satu dengan kayu-kayu legal. Jadi seolah-olah itu adalah kayu bukan curian.
      "Ini harus dilaporkan Ken," kata Suleman.    
      "Jangan kita laporkan tapi kita akalin," balas Ken.
      "Biar yang melaporkan masyarakat saja."
      "Caranya gimana?" tanya Toto.
      "Itu di sana, lihat gak, kenapa kayu itu bisa berhenti?" tanya Ken, menunjuk tumpukan kayu yg mengambang di sungai.
      "Itu ada penahannya."
     "Penahan itu sebuah rantai kecil yang terikat di sebuah pohon!" Kata Ken lagi, sambil jari telunjuknya mengarah ke pohon kelapa yang batangnya terlilit rantai kecil tapi kuat. Rantai itu membentang panjang menyebrangi sungai, menyentuh air sungainya, lalu di seberang sungai rantai itu terikat pada pohon pete.
       "Terus?" Toto penasaran.
      Sebentar Ken diam. Dari atas bukit mereka duduk setengah jongkok bergerombol sambil memandang sungai dan pos satpam.
       "Menghancurkan mereka itu mudah, dalam sekejap mereka akan diringkus polisi dan dikeroyok massa. Caranya dengan melepas ikatan rantai penahan kayu itu,"
        "Oh itu ya?" Sena mengerti, diikuti yang lain. 
        "Jadi kita lepas sekarang rantai penambat itu?" Citno bertanya.
       "Ya, kalau dilepas maka kayu itu akan hanyut sampai jauh, lalu akan ketahuan oleh masyarakat dan aparat. Mereka, para pencuri itu tak mampu lagi untuk mengejar mengembalikan kayu-kayunya."
       "Bagus itu Ken," Citno semangat.
       "Ayo kita kerjain mereka. Aku sudah gemes!"
       "Sabar," kata Ken kepada Sena.
       "Kita atur strategi, jangan semuanya turun kesana.”
       “Begini!” Ken memberikan usul. 
       "Kita kalau turun semua ke sana untuk membuka rantai itu, peluang untuk kepergok sama malingnya semakin besar."
       "Malingnya nanti bisa teriak maling," bisik Toto kepada Citno.
        "Jadi yang mau ikut turun ke bawah dua orang saja. Aku dengan Suleman," lanjut Ken.
        Suleman setuju. Dipilihnya Suleman oleh Ken karena dalam hal apapun terlihat sirius, dia tidak suka bercanda, orangnya waspada dan teliti.
       "Jadi, kamu Sena, Toto, Citno, kembali saja ke jembatan, terus siapkan komandan anginnya dalam hitungan 45 menit dari sekarang. Maksudnya, sampai hitungan 45 menit itu kamu sudah siap berangkat dengan komandan angin, aku, Suleman, nanti akan mencoba menyusul 15 menit kemudian dengan mengejar dan naik dengan cara melompat, itu darurat paling pahit kalau terjadi apa-apa. Mudah-mudahan sih tidak terjadi apa-apa, tapi antisipasi untuk kabur dengan cepat perlu disiapkan!”
      "Siap!" Kontan Toto, Citno, Sena yang setengah jongkok memberi hormat militer kayak orang  blo’on
      Tuhkan, mereka becanda dalam posisi sedang Sirius, kesal Ken, stengahnya dia sendiri juga gak serius.
      "Ayo kita ukur 45 menit kedepan!" Ken melihat jarum jam tangannya, pukul 09.00.
      "Sena jam tangan kamu dicocokin."
      Sena lalu mencocokkan jarum jam tangan yang kontras manis dengan tangannya yang putih, disaksikan Toto, Citno yang berkerumun di belakang Sena berdesakan, mungkin mereka tidak sekedar melihat jam tangan.
      "Siap ya!" Mata Ken memperhatikan wajah teman-temannya agar serius, tapi mereka malah asik melihat jam tangan Sena, menunggu jarum tipis bergerak ke angka 12.
       Gaya militer yang sering dilihat ketika Bapak-bapak militer sedang latihan perang itu ditiru oleh Ken dan teman-teman ditempat tinggal meraka, sebuah asrama barak militer. Pelajaran itu sering juga dapat di pramuka setiap minggu di asrama. Bapak-bapak militer seperti Kak Nur berpangkat kopral sering memberi pelajaran itu. Pak guru Parwoto juga memberikan pelajaran itu. Namanya survivel, hidup di alam bebas dengan disiplin waktu, "Karena kalian memiliki tanggung jawab, minimal disiplin waktu" kata kakak pramuka.
      "Lima detik lagi! Siap ya?” Kata Ken sambil memperhatikan jam. Sena juga memperhatikan jam di lengan putihnya. Sedikit Ken mencuri pandang wajah Sena yang sedang serius memperhatikan jam.
      Wajah cantik di alam buas, batin Ken. Ketika dilihat rambutnya lepas jatuh dari telinganya ke pipi putih, dan bergantung di sana.
      Sena lalu melirik Ken. Tabrakan mata terjadi, Ken matanya lari. Astaga! Waktu! Pantesan tadi dia melirik aku, pikir Ken.
      "OK! Jalan," Ken gugup, sambil berusaha berdiri, walau tahu waktu telihat lebih tiga detik gara-gara memandang Sena.
      Citno, Toto dan Sena langsung jalan, walau Sena sempat melirik Ken sekali lagi atas kelebihan waktu tiga detik tadi. Tiga detik yang mendebarkan buat Ken, tapi buat Sena, mata itu mata protes kelebihan waktu. Ken saja yang GR.
       Ken langsung menuruni lembah menuju sungai sambil mengendap-ngendap, sesuai rencana. Suleman, sabagai pengawas pendukung berada di belakang Ken. Matanya menyapu situasi, te ngak-tengok kesegala penjuru. Diam di sudut pohon rimbun. Sasarannya adalah pohon kelapa yang ada ikatan rantai itu. Mengendap-ngendap masuk ke satu pohon, masuk ke pohon lainnya, terus begitu. Berhenti lagi.
      Sementara Toto, Citno dan Sena sedang setengah berlari menuju jembatan Rancagoong, menyusuri jejak awal langkah tadi melewati kebun-kebun palawija. Ada tikungan satu kali lagi batas desa itu sudah sampai. Dari sana baru jembatan Rancagoong akan terlihat.

       Pukul 09.15.

       Ditempat lain Ken 25 meter lagi hampir sampai pada pohon kelapa. Tak ada suara riak sungai. Sungai ini amat tenang, setenang kayu gelondongan yang diam terapung.
       Kuncinya hanya itu, pikir Ken, menatap simpul rantai yang melilit pohon kelapa.
      "Kamu awasi tempat ini Man, perhatikan sekitar. Aku mau buka rantai itu," bisik Ken, dadanya sudah berdebar kencang.
     Tanpa mendengar jawaban Suleman, Ken langsung keluar dari persembunyiannya menuju pohon kelapa. Dia berlari lalu berhenti persis di pohon kelapa. Sementara Suleman mengamati sekitar dengan lebih waspada, takut kalau ada orang dari kelompok pekerja kayu datang.
      Dan benar! radar panca indra Suleman segera menangkap dua orang sudah menuruni lereng hendak menuju Ken yang tengah membuka simpul rantai. Mereka, dua orang berseragam putih biru itu sedang santai mengobrol. Badannya yang satu agak gemuk yang satu lagi kurusan dan lebih tinggi.
       Ini gejala buruk, pikir Suleman, langsung saja dia berlari keluar dari persembunyiannya menuju Ken.
       "Ada orang!" kata Suleman kepada Ken yang sedang sibuk membuka simpul rantai.
       Tanpa pikir panjang, mereka berdua langsung berlari menaiki bukit, menghindar.   
      Sayang, ketika sedang berlari menaiki bukit, salah satu dari dua orang itu melihat Ken dan Suleman, "Hoi!! Bocah ngapain kamu!?" 
     "Hoi! Sedang apa kamu!" sekali lagi. Mereka tidak berteriak maling-maling seperti pada umumnya, karena yang dilihat hanyalah remaja tanggung atau mereka sendiri tidak enak hati, karena maling sebenarnya ada di tempat ini.
       Menyadari ada orang asing berlari terbirit-birit mereka jadi penasaran, mau apa remaja tanggung  itu? Tak cukup berteriak –yg mungkin kurang keras– mereka meniupkan pluit. Rupanya kedua orang berseragam putih itu adalah satpam pabrik kayu.  
       Di tengah bukit yang sepi suara pluit itu khas dan mudah terdengar, sehingga kawannya yang berada ditempat lain segera keluar dari gudang kayu. Yang sedang main domino berdiri. Yang sedang tidur dibangunkan. Mereka para pekerja kayu itu berlari menuju sumber suara pluit tadi, bertemu satpam lalu bertanya-tanya. Sang satpam menjawab dengan telunjuk tangan kepada Ken dan Suleman yang tengah berlari menaiki lereng bukit, menerobos kebun dan semak. Jalan setapak petani sudah tak dihiraukan lagi, mereka terus berlari, pagar Kebun singkong dan kacang tanah di loncatin, persis seperti rusa di kejar macan.
      Pekerja dan satpam kayu dengan alasan penasaran berusaha mengejar, tapi nampaknya sudah kalah jauh. Jarak sudah tak bisa dijangkau lagi. Yang mengejar terutama satpamnya tak mau menyerah, karena pikir mareka akan menerima resikonya kalau remaja baru gede itu melapor warga nanti. Mereka para pekerja, khususnya satpam kayu belum tahu alasannya. Seharusnya tempat ini terlarang untuk didatangi orang, tapi remaja tanggung itu luput dari pengawasan, dan mencurigakan, itu yang membuat dua orang satpam penasaran dan nekad terus mengejar.
       Ken dan Suleman sampai pada tikungan batas desa, dimana akan terlihat jembatan Rancagoong. Sambil berlari ken melihat jam tangannya.

       Pukul 09.30.

       Ken memperkirakan teman-temannya yang lebih dahulu sampai di jembatan sudah menyiapkan komandan angin sesuai dengan rencana.
       Seperti harapan Ken, di tempat yang tersembunyi di atas jembatan yang bagian tepinya tertutup pohon bambu, Sena dan Citno sudah stand by di kursinya masing-masing. Melihat dengan harap-harap cemas ke arah tikungan jalan setapak di ujung bukit. Sena melihat jam tangannya berkali-kali, sebelum akhirnya Ken bersama Suleman muncul di tikungan sedang berlari menuruni bukit, meninggalkan debu kebun berterbangan di belakangnya.
      "ITU KEN!" teriak Sena.
      Toto segera mengambil posisi siap mendorong, start.
       Kaki Sena dan Citno berada diposisi stand by diatas pedal, siap dikayuh. Tinggal menunggu di dorong oleh Toto. Pada awal gerak komandan angin memang harus didorong sedikit sebagai simultan gerakan tekan pedal di bagian kaki.
      Ketika Ken bersama Suleman semakin mendekat, jarak tinggal 50 meter lagi, komandan angin segera di dorong oleh Toto, dibantu Sena dan Citno mengenjot pedalnya. Sena memperhatikan si pengejar satpam itu nampak seperti orang putus asa. Mereka tertinggal jauh, nafas mereka megap-megap terlihat dari sebentar-sebentar berhenti membungkuk.
       Ken dan Suleman berlari tinggal sepuluh meter lagi mendekati komandan angin. Toto mempercepat langkah mendorongnya sambil di bantu Citno dan Sena dengan genjotan pedal. Ken dan Suleman yang sudah sejajar dengan komandan angin mengambil posisi di dekat kursinya masing-masing sambil berlari. Diawali Suleman yang sudah melompat duduk di depan, kemudian disusul Toto berlari, sekali lompatan duduk di depan Sena.
      "Ayo Cepat Ken!" Teriak Sena.
      Tinggal Ken terakhir memburu komandan angin dan hup! Ken sudah berdiri diposisinya, di belakang layar komandan angin, melihat jam tangannya.

       Pukul 09.45.

       Komandan angin melesat kencang, karena tenaga pengayuh pedalnya bertambah dua. Terus melaju mengikuti jalur rel kereta api dengan mulus. Sementara Ken di belakang masih sibuk mengatur nafasnya. Sena sempat memperhatikan itu. Komandan angin melaju terus masuk hutan bambu di daerah Cisondari, sebelum masuk lagi hutan cemara yang udaranya terasa mulai sejuk. Komandan angin luput dari kejaran satpam. Mereka menuju kebun kayu Pak Hasan.




bersambung













Tidak ada komentar:

Posting Komentar