Senin, 20 Maret 2017

Cerpen: Camellia Titipan Tuhan

Camellia tea


       Mendung sore ini diperkirakan akan segera turun hujan. Tidak ada masalah buatku, karena aku sudah persiapan. Seperti pulang dari kursus bahasa Jepang hari ini, aku ingin lebih cepat sampai kerumah ketimbang ngobrol berlama-lama dengan teman di lobby.
       Aku memang paling suka menikmati hujan sore di rumah. Ada ritual yang biasa aku lakukan di sana bila melihat hujan. Ritual pribadi yang menurutku mampu membuat aku kembali bersemangat untuk menjalani hidup. Dan parcaya atau tidak, ritual itu dapat mewujudkan impianku?  Walau tidak sempurna benar.
       Kalau sore turun hujan, biasanya aku duduk di meja belajar dekat jendela kaca. Dengan sweeter di tubuh aku memandang hujan. Melihat rintik hujan yang menari-nari bersama daun yang luruh, ada kesan tersendiri buatku. Sementara AC ruangan tempat dimana aku duduk, sengaja tidak dimatikan walaupun cuaca di luar dingin. Kamarku yang dominan putih itu terasa seperti di atas gunung: Dingin sekali dan segar sekali. Aku suka itu.
       Sudah kebiasaanku, bila sedang memadang hujan sore dari jendela harus dengan makanan ringan dan secangkir teh hangat, ini cara ritualku. Maka aku bergegas mengambil tiga buah donat yang dibeli tadi. Sekotak donat aku taruh di tengah meja belajar diantara dua kursi berhadapan.
       Agar nuansa ritual lebih bernilai seni, aku siapkan juga barang kuno media teh seperti teko dari tembikar buatan 1932, milik nenekku. Lengkap dengan piring tatakan dan wadah teh yang semuanya tembikar berwarna coklat tua.
       Aku menyiapkan teh special kesukaanku, white tea. White tea adalah jenis teh yang diambil secara khusus dari daun teh pucuk di puncak tertinggi di atas 1000 m dpl (di atas permukaan laut), di daerah Pengalengan. Diambil paling pagi pukul empat, ketika udara paling dingin dan daunnya diambil paling pucuk: dua daun di atas masih menggulung (sangat muda). Orang biasa menyebut pucuk peco.
       Aku menaburkan daun teh kering white tea itu ke dalam cangkir tembikar dan menuangkan air mendidih 80 derajat ke dalamnya. Sementara hujan semakin deras terlihat dari kaca jendela, aku memandang kursi kosong yang berhadapan di meja belajar, berharap disana ada seorang lelaki yang sedang menemaniku minum teh, khayal membawaku terbang.
       Dingin yang membeku di dalam kamar, dengan secangkir white tea yang harum melati, aku merasa hidupku paling sempurna. Terlebih lagi bila kursi kosong dihadapanku itu terisi, duduk seorang pria yang aku cintai. Musik instrumental fluit mengalun lembut, el condor pasa. Pelan aku pejamkan mata untuk merasakan kenikmatan ini.  Kalau sudah begitu biasanya tumbuh rasa percaya diri dari sifatku yang sedikit urakan untuk menjadi  perempuan yang lembut. Ini mungkin sugesti dalam suasana yang kubawa romantis. Dalam kejenuhan hidup kadang aku merasa ingin lari ketempat seperti ini ditemani kursi kosong khayalanku.
       Aku memandang hujan yang dingin di luar. Sementara AC di kamar tak juga dimatikan. Sepintas dari kaca jendela yang sedikit berembun, aku melihat seorang lelaki sedang berteduh di garasi mobil rumahku. Kaca jendela kamarku ribben, orang tidak bisa melihat ke dalam tapi aku yang di dalam bisa melihat ke luar, termasuk gerak-gerik laki-laki itu.
       Dia berpakaian putih bersih yang nampak basah terlihat dari kaus dalamnya yang membekas di pungung. Seperti pagawai kantoran yang pulang kehujanan, aku melirik jam diding pukul 17.00. Tubuhnya sedikit tinggi, lengan kemeja putihnya digulung sebatas siku, dan motor vespa jelek tersandar disebelah kanannya. Sejak tadi kepalanya di tundukan. Dia seperti sedang bersedih. Aku jadi iba melihatnya.
       Betapa tidak iba, aku di dalam kamar menikmati hidup dengan indahnya, tapi diluar sana seorang lelaki nampak sedih di tengah hujan. Lewat kelemahanku yang tidak tegaan ini, aku segera melirik donat dan mengambil satu cangkir tembikar lagi. Aku berniat mengajaknya berteduh di teras depan rumah, agar dia tidak banyak tertunduk seperti itu lagi. Aku  lalu menghampirinya.
      “Mas maaf, sini di teras jangan di situ!” teriakku.
       Lelaki itu agak kaget dan menoleh kearahku.
       Astaga… dia mirip sekali dengan Sahrulkhan, bintang papan atas India kesayanganku. Dia  lebih muda dan sopan sekali.
      “Trimakasih mbak,” dia membungkuk  dan tersenyum kepadaku.
       Alamakkkkkk, dia Shahrulkhan sungguhan. Tuhan, kuatkan hati ini, aku minta perlindungan-Nya, karena aku sadar dengan sifatku yang mendadak konyol kalau ketiban rejeki. Aku langsung  menaruh teh dan sebuah donat di meja teras.
       “Sini Mas, jangan malu silahkan,” ajakku lagi, agak maksa. Mulai keluar sedikit sifat urakanku.
       Dengan malu-malu lelaki itu datang menghampiriku dengan gaya yang sopan, sambil mengulurkan tangannya kepadaku, memperkenalkan diri.
       “Muara,” dia menyebut namanya.
      “Bening.” Kataku menyebutkan nama sendiri.
      “Putik Bening Alamanda,” aku tambahkan lagi biar lengkap, hmm…kenapa aku ini ya? dia kan tidak tanya nama lengkap.
       “Namanya bagus sekali, seperti orangnya, ” dia mencoba ramah.
       “Mas juga bagus namanya,” balasku, seketika. Asal bicara, tidak konsentrasi. Astaga Bening…..?
       ”Diminum airnya mumpung hangat,” tawarku, membuka kebisuan.
       “Trimakasih,” dia lalu mengangkat cangkir teh dan menempelkan ke bibir. Seteguk teh itu meluncur di tenggorokannya yang bergerak. Dua teguk, dia memejamkan mata sambil menghembuskan nafas kedalam cangkir. Dalam posisi masih meneguk minum dia menghirup wangi tehnya. Tegukan ke tiga dia benar-benar menikmati teh buatanku.
       “Ini teh putih. Rasa ini tidak banyak dijual. Hanya orang tertentu saja  yang punya dan harganya mahal. Aku suka sekali teh ini.”      
       “Oh  iya, Muara penggemar teh juga ya?”
       “Iya, tapi tidak fanatik. Aku suka dengan seni. Sampai cara minum teh pun sedikit tahu. Seperti cangkir ini, wadah yang pas untuk minum teh,” katanya.
       Ya Alaahh, kenapa dia sama kesukaannya dengan aku? Tuhan berikan dia untukku untuk mengisi kursi kosong putih di kamarku itu. Dia sudah mapan menjadi kepala cabang di sebuah bank, tapi dia tetap sederhana. Lihatlah dia berkendara dengan motor vespa yang sudah jelek.
      Itulah penyelidikanku tentang lelaki asing mirip Sahrulkhan. Aku belum menyelidiki apakah dia sudah punya pacar atau istri yang setia? masa orang seganteng itu tidak ada yang naksir, aku penasaran. Maka pada suatu hari aku menanyakan.
       “Tapi benar nih masih sendiri…?” Aku bercanda.
       “Emang ada yang mau dengan aku yang bawa motor jelek itu?”  
       “Loh siapa tau…”
       Siapa tau itu ternyata aku, Putik Bening Alamanda. Gara-gara teh dia jadi sering datang kerumah dengan motor jelek itu. Dia bilang dan yakin aku adalah jodohnya. Karena teh itulah yang membuat dia jatuh cinta kepadaku. Teh yang aku sajikan kepadanya ketika itu mahal harganya, dan hanya boleh disajikan pada tamu terhormat. Itu berarti aku orang yang baik hati dan tulus. Menurutnya orang seperti aku sudah jarang. Hatiku berbunga. Itu terjadi setelah tiga bulan dia sering kerumahku tiap malam minggu. Tapi kenapa masih membawa motor vespa jelek?
      “Muara, aku mau tanya boleh?”
      Sambil siku tangannya bertopang pada dengkul kaki dia menoleh padaku, “Boleh.”
      “Jangan tersinggung ya, beberapa minggu ini kamu kok berani sih datang kerumahku dengan motor jelek begitu?” kataku ceplas-ceplos, urakan.
       Muara bersandar pada kursi sofa, “Aku yakin kamu tidak menilai dari motor yang kubawa,” dia menatapku teduh. “Sejak pertama kali kita bertemu waktu hujan dulu, cara berpakaian yang kamu pakai itu sudah menunjukan bahwa kamu bukan orang sembarangan.”   Aku tersenyum senang.
        Lalu katanya, “Kamu punya banyak nilai lebih. Gaya kamu yang urakan itu adopsi dari pergaulan di kampus kan? Kamu pandai memilih dengan benar dan pantas. Termasuk menilai aku diri sisi manusianya. Bukan kekayaannya.”
        Muara beralih memandang motor vespanya.
       “Kalau kamu tidak suka, sudah sejak dulu mungkin dalam minggu ke dua kedatanganku, kamu sudah menutup pintu rapat. Tapi ini sudah minggu ke 14. Kita sudah jalan-jalan ke banyak tempat dengan motor jelek itu. Kamu rasanya masih sempurna saja. Itu semua manifestasi melihatku dari sisi manusianya. Jadi jujur aku pingin hidup bersamamu,” dia menatapku. Pada kesempatan itu aku mengusap punggungnya, membelai rambut belah tengahnya. Kepalaku aku sandarkan ke bahunya.      

***

      Well, aku akhirnya menikah setahun kemudian dengan Muara, walau kuliahku di bilangan Depok ditinggalkan menjelang skripsi. Rencananya aku akan lanjutkan setelah urusan rumah tangga sudah tenang.
       Ternyata menikah itu enak juga, ya? Kata teman yang pernah aku dengar, menikah itu memperpendek umur. Buatku menikah malah memperpanjang umur. Tergantung sih dengan siapa menikahnya. Kalau dengan harimau, ya betul juga sih.
       Tapi maksudku lihat-lihat dululah dengan calon pendamping hidup, kita kan punya strategi dan insting. Ada banyak temanku yang bilang tertipu dengan suaminya sendiri, itu siapa yang salah ya? Waktu pacaran kelihatan keren bawa mobil gress, ngajak mondar-mandir keliling kota. Tidak lagi dicek and ricek siapa itu lelakinya. Tak tahunya supir angkot. Dulu dia ngakunya PNS, kata temanku.         
       Menurutku menikah dengan Muara itu indah sekali. Saking indahnya sampai aku jadi rajin sholat lima waktu dengan khusuk. Aku dan suami senang dengan sholat berjamaah bila kebetulan di rumah. Karena sholat berdua bagian dari seni keindahan juga, sama indahnya seperti seni ritual minum teh.  
       Begitulah pernikahanku bersama Muara. Jadi segala rupa dan makna dalam hidup aku apresiasikan dalam seni. Kami yang pencinta seni ini, menahan marah dan sabarpun kami nilai dengan seni. Dan harus sering berucap dalam hati, ‘indahnya menahan napsu.’ Sehingga kami jarang bertengkar. 
        Nilai seni yang lain misalnya, tentang seorang anak bayi umur satu tahun sudah bisa memanggil nama ibunya dengan kalimat, “Mama…Papa,” itu adalah kalimat merdu paling indah yang aku dengar. Suamiku punya persepsi yang sama, sehingga kami sudah delapan tahun merindukan seorang bayi dan merindukan panggilan itu.

***

       Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, memang. Pernikahanku dengan Muara sudah berjalan delapan tahun lebih. Tapi aku belum dikaruniai anak. Segala cara sudah dilakukan dari dokter kandungan yang menyatakan aku dan suami sehat, sampai pengobatan alternative. Aku diharuskan menunggu. Sabar dan sabar.
       Hingga pada suatu hari kami mengambil keputusan yang mengejutkan semua orang, terutama keluarga dan teman terdekatku. Kami akan berpisah, bercerai dengan baik-baik. Sesuatu yang sangat berat sebetulnya, karena Muara sangat cinta kepadaku. Aku istrinya sangat tahu itu. Dia sebenarnya siap saja hidup tanpa anak bersamaku. Tapi orang tua Muara, terutama ibu, tidak berpikir seperti itu. Katanya itu adalah aib keluarga besar. Kami harus berpisah.
       Empat bulan sepuluh hari, masa idahku sudah lewat sejak berpisahan dengan suami yang aku cintai. Banyak perubahan sudah dalam hidupku. Muara sudah menikah lagi dengan gadis pilihan orang tuanya. Tapi aku tidak berpikir itu. Aku tidak berpikir cari suami baru. Aku berpikir hanya kepada perutku yang baru disadari seminggu yang lalu. Aku hamil.
       Tuhan mungkin berkehendak lain. Inilah jalanku. Hidupku. Justru pada saat-saat terakhir kami bersama suamiku bercinta, saat itulah Tuhan memberikan titipan-Nya. Dalam perutku ini ada buah cinta kami. Muara tidak tahu itu, aku takut mengganggu keutuhan rumah tangga barunya.

***

       Sekarang di jendela putih sebuah kamar, aku memandang hujan kebiasaan ritualku. Secangkir teh tembikar lengkap dengan tekonya menemani, white tea. Di luar sana hujan semakin deras, membentuk kabut dan tiupan angin membawa daun kering terbang. Sepintas aku melihat sosok berbaju putih berdiri lagi di garasi. Dia baru pulang kerja nampaknya. Momen itu sengaja aku tunggu. Dialah anak perempuanku yang sudah menjelang dewasa dan sudah pula bekerja di Bank. Namanya aku ambil dari nama latin teh, untuk mengingatkan kebiasaan ritual kami bersama papanya dulu minum teh dimusim hujan. Papanya yang telah mengisi kursi kosong putih itu.
       Anak gadisku itu aku beri nama Camellia Tea.
      “l love you Tea…”


Depok, 26 Desember 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar