Camellia tea
Mendung sore ini diperkirakan akan segera
turun hujan. Tidak ada masalah buatku, karena aku sudah persiapan. Seperti pulang dari kursus bahasa
Jepang hari ini, aku ingin lebih cepat sampai kerumah ketimbang ngobrol
berlama-lama dengan teman di lobby.
Aku
memang paling suka menikmati hujan sore di rumah. Ada ritual yang biasa aku
lakukan di sana bila melihat hujan. Ritual pribadi yang menurutku mampu membuat
aku kembali bersemangat untuk menjalani hidup. Dan parcaya atau tidak, ritual itu dapat mewujudkan
impianku? Walau tidak sempurna benar.
Kalau
sore turun hujan, biasanya aku duduk di meja belajar dekat jendela kaca. Dengan sweeter di tubuh aku
memandang hujan. Melihat rintik hujan yang menari-nari bersama daun yang luruh,
ada kesan tersendiri buatku.
Sementara AC ruangan tempat dimana aku duduk, sengaja tidak dimatikan walaupun
cuaca di luar dingin. Kamarku yang dominan putih itu terasa seperti di atas
gunung: Dingin sekali dan segar sekali. Aku suka itu.
Sudah
kebiasaanku, bila sedang memadang hujan sore dari jendela harus dengan makanan
ringan dan secangkir teh hangat, ini cara ritualku. Maka aku bergegas mengambil
tiga buah donat yang dibeli tadi. Sekotak donat aku taruh di tengah meja belajar diantara dua kursi
berhadapan.
Agar nuansa ritual lebih
bernilai seni, aku siapkan juga barang kuno media teh seperti teko dari
tembikar buatan 1932, milik nenekku. Lengkap dengan piring tatakan dan wadah
teh yang semuanya tembikar berwarna coklat tua.
Aku
menyiapkan teh special kesukaanku, white
tea. White tea adalah jenis teh yang diambil secara khusus dari daun teh pucuk di puncak tertinggi di atas 1000
m dpl (di atas permukaan laut), di daerah Pengalengan. Diambil paling pagi
pukul empat, ketika udara paling dingin dan daunnya diambil paling pucuk: dua
daun di atas masih menggulung (sangat muda). Orang biasa menyebut pucuk peco.
Aku menaburkan
daun teh kering white tea itu ke dalam
cangkir tembikar dan menuangkan air mendidih 80 derajat ke dalamnya. Sementara
hujan semakin deras terlihat dari kaca jendela, aku memandang kursi kosong yang
berhadapan di meja belajar,
berharap disana ada seorang lelaki yang sedang menemaniku minum teh, khayal membawaku
terbang.
Dingin
yang membeku di dalam kamar, dengan secangkir white tea yang harum melati, aku merasa hidupku paling sempurna.
Terlebih lagi bila kursi kosong dihadapanku itu terisi, duduk seorang pria yang
aku cintai. Musik instrumental fluit mengalun lembut, el condor pasa. Pelan aku pejamkan mata untuk merasakan kenikmatan
ini. Kalau sudah begitu biasanya tumbuh
rasa percaya diri dari sifatku yang sedikit urakan untuk
menjadi perempuan yang lembut. Ini
mungkin sugesti dalam suasana yang kubawa romantis. Dalam kejenuhan hidup
kadang aku merasa ingin lari ketempat seperti ini ditemani kursi kosong
khayalanku.
Aku
memandang hujan yang dingin di luar. Sementara AC di kamar tak juga dimatikan.
Sepintas dari kaca jendela yang sedikit berembun, aku melihat seorang lelaki
sedang berteduh di garasi mobil rumahku. Kaca jendela kamarku ribben, orang
tidak bisa melihat ke dalam tapi aku yang di dalam bisa melihat ke luar,
termasuk gerak-gerik laki-laki itu.
Dia berpakaian
putih bersih yang nampak basah terlihat dari kaus dalamnya yang membekas di pungung.
Seperti pagawai kantoran yang pulang kehujanan, aku melirik jam diding pukul
17.00. Tubuhnya sedikit tinggi, lengan kemeja putihnya digulung sebatas siku,
dan motor vespa jelek tersandar disebelah kanannya. Sejak tadi kepalanya di
tundukan. Dia seperti sedang bersedih. Aku jadi iba melihatnya.
Betapa
tidak iba, aku di dalam kamar menikmati hidup dengan indahnya, tapi diluar sana
seorang lelaki nampak sedih di tengah hujan. Lewat kelemahanku yang tidak
tegaan ini, aku segera melirik donat dan mengambil satu cangkir tembikar lagi.
Aku berniat mengajaknya berteduh di teras depan rumah, agar dia tidak banyak
tertunduk seperti itu lagi. Aku lalu menghampirinya.
“Mas
maaf, sini di teras jangan di situ!” teriakku.
Lelaki
itu agak kaget dan menoleh kearahku.
Astaga…
dia mirip sekali dengan
Sahrulkhan, bintang papan atas India kesayanganku. Dia lebih muda dan sopan sekali.
“Trimakasih mbak,” dia membungkuk dan tersenyum kepadaku.
Alamakkkkkk, dia Shahrulkhan sungguhan. Tuhan, kuatkan hati ini, aku
minta perlindungan-Nya, karena aku sadar dengan sifatku yang mendadak konyol
kalau ketiban rejeki. Aku langsung menaruh teh dan sebuah donat di meja teras.
“Sini
Mas, jangan malu silahkan,” ajakku lagi, agak maksa. Mulai keluar sedikit sifat
urakanku.
Dengan
malu-malu lelaki itu datang menghampiriku dengan gaya yang sopan, sambil
mengulurkan tangannya kepadaku, memperkenalkan diri.
“Muara,” dia menyebut namanya.
“Bening.” Kataku menyebutkan nama sendiri.
“Putik
Bening Alamanda,” aku tambahkan lagi biar lengkap, hmm…kenapa aku ini ya? dia
kan tidak tanya nama lengkap.
“Namanya bagus sekali, seperti orangnya, ” dia mencoba ramah.
“Mas
juga bagus namanya,” balasku, seketika. Asal bicara, tidak konsentrasi. Astaga Bening…..?
”Diminum airnya mumpung hangat,” tawarku,
membuka kebisuan.
“Trimakasih,” dia lalu mengangkat cangkir teh dan menempelkan ke bibir.
Seteguk teh itu meluncur di tenggorokannya yang bergerak. Dua teguk, dia
memejamkan mata sambil menghembuskan nafas kedalam cangkir. Dalam posisi masih
meneguk minum dia menghirup wangi tehnya. Tegukan ke tiga dia benar-benar
menikmati teh buatanku.
“Ini
teh putih. Rasa ini tidak banyak dijual. Hanya orang tertentu saja yang punya dan harganya mahal. Aku suka
sekali teh ini.”
“Oh iya, Muara penggemar teh juga ya?”
“Iya, tapi
tidak fanatik. Aku suka dengan seni. Sampai cara minum teh pun sedikit tahu.
Seperti cangkir ini, wadah yang pas untuk minum teh,” katanya.
Ya Alaahh, kenapa dia sama kesukaannya
dengan aku? Tuhan berikan dia untukku untuk mengisi kursi kosong putih di
kamarku itu. Dia sudah mapan menjadi kepala cabang di sebuah bank, tapi dia tetap
sederhana. Lihatlah dia berkendara dengan motor vespa yang sudah jelek.
Itulah
penyelidikanku tentang lelaki asing mirip Sahrulkhan. Aku belum menyelidiki
apakah dia sudah punya pacar atau istri yang setia? masa orang seganteng itu tidak
ada yang naksir, aku penasaran. Maka pada suatu hari aku menanyakan.
“Tapi
benar nih masih sendiri…?” Aku bercanda.
“Emang
ada yang mau dengan aku yang bawa motor jelek itu?”
“Loh
siapa tau…”
Siapa tau itu ternyata aku, Putik Bening
Alamanda. Gara-gara teh dia jadi sering datang kerumah dengan motor jelek itu.
Dia bilang dan yakin aku adalah jodohnya. Karena teh itulah yang membuat dia
jatuh cinta kepadaku. Teh yang aku sajikan kepadanya ketika itu mahal harganya,
dan hanya boleh disajikan pada tamu terhormat. Itu berarti aku orang yang baik
hati dan tulus. Menurutnya orang seperti aku sudah jarang. Hatiku berbunga. Itu terjadi setelah tiga bulan dia
sering kerumahku tiap malam minggu. Tapi kenapa masih membawa motor vespa
jelek?
“Muara, aku
mau tanya boleh?”
Sambil siku
tangannya bertopang pada dengkul kaki dia menoleh padaku, “Boleh.”
“Jangan
tersinggung ya, beberapa minggu ini kamu kok berani sih datang kerumahku dengan
motor jelek begitu?” kataku ceplas-ceplos, urakan.
Muara
bersandar pada kursi sofa, “Aku yakin kamu tidak menilai dari motor yang kubawa,”
dia menatapku teduh. “Sejak pertama kali kita bertemu waktu hujan dulu, cara
berpakaian yang kamu pakai itu sudah menunjukan bahwa kamu bukan orang
sembarangan.” Aku tersenyum senang.
Lalu
katanya, “Kamu punya banyak nilai lebih. Gaya kamu yang urakan itu adopsi dari pergaulan di kampus kan? Kamu pandai memilih dengan benar
dan pantas. Termasuk menilai aku diri sisi manusianya. Bukan kekayaannya.”
Muara beralih
memandang motor vespanya.
“Kalau
kamu tidak suka, sudah sejak dulu mungkin dalam minggu ke dua kedatanganku,
kamu sudah menutup pintu rapat. Tapi ini sudah minggu ke 14. Kita sudah
jalan-jalan ke banyak tempat dengan motor jelek itu. Kamu rasanya masih
sempurna saja. Itu semua manifestasi
melihatku dari sisi manusianya. Jadi jujur aku pingin hidup bersamamu,” dia
menatapku. Pada kesempatan itu aku mengusap punggungnya, membelai rambut belah
tengahnya. Kepalaku aku sandarkan ke bahunya.
***
Well,
aku akhirnya menikah setahun kemudian dengan Muara, walau kuliahku di bilangan
Depok ditinggalkan menjelang skripsi. Rencananya aku akan lanjutkan setelah
urusan rumah tangga sudah tenang.
Ternyata menikah itu enak juga, ya? Kata teman yang pernah aku dengar,
menikah itu memperpendek umur. Buatku menikah malah memperpanjang umur. Tergantung
sih dengan siapa menikahnya. Kalau dengan harimau, ya betul juga sih.
Tapi
maksudku lihat-lihat dululah dengan calon pendamping hidup, kita kan punya
strategi dan insting. Ada banyak temanku yang bilang tertipu dengan suaminya
sendiri, itu siapa yang salah ya? Waktu pacaran kelihatan keren bawa mobil gress,
ngajak mondar-mandir keliling kota. Tidak lagi dicek and ricek siapa itu
lelakinya. Tak tahunya supir angkot. Dulu dia ngakunya PNS, kata temanku.
Menurutku menikah dengan Muara itu indah
sekali. Saking indahnya sampai aku jadi rajin sholat lima waktu dengan khusuk. Aku
dan suami senang dengan sholat berjamaah bila kebetulan di rumah. Karena sholat
berdua bagian dari seni keindahan juga, sama indahnya seperti seni ritual minum
teh.
Begitulah pernikahanku bersama Muara. Jadi
segala rupa dan makna dalam hidup aku apresiasikan dalam seni. Kami yang
pencinta seni ini, menahan marah dan sabarpun kami nilai dengan seni. Dan harus
sering berucap dalam hati, ‘indahnya menahan napsu.’ Sehingga kami jarang
bertengkar.
Nilai seni yang lain misalnya, tentang seorang
anak bayi umur satu tahun sudah bisa memanggil nama ibunya dengan kalimat, “Mama…Papa,”
itu adalah kalimat merdu paling indah yang aku dengar. Suamiku punya persepsi
yang sama, sehingga kami sudah delapan tahun merindukan seorang bayi dan merindukan
panggilan itu.
***
Tidak ada sesuatu yang sempurna di
dunia ini, memang. Pernikahanku dengan Muara sudah berjalan delapan tahun lebih.
Tapi aku belum dikaruniai anak. Segala cara sudah dilakukan dari dokter
kandungan yang menyatakan aku dan suami sehat, sampai pengobatan alternative. Aku
diharuskan menunggu. Sabar dan sabar.
Hingga
pada suatu hari kami mengambil
keputusan yang mengejutkan semua orang, terutama keluarga dan teman
terdekatku. Kami akan berpisah, bercerai dengan baik-baik. Sesuatu yang sangat
berat sebetulnya, karena Muara sangat cinta kepadaku. Aku istrinya sangat tahu
itu. Dia sebenarnya siap saja hidup tanpa anak bersamaku. Tapi orang tua Muara,
terutama ibu, tidak berpikir seperti itu. Katanya itu adalah aib keluarga besar.
Kami harus berpisah.
Empat bulan sepuluh hari, masa idahku sudah
lewat sejak berpisahan dengan suami yang aku cintai. Banyak perubahan sudah
dalam hidupku. Muara sudah menikah lagi dengan gadis pilihan orang tuanya. Tapi
aku tidak berpikir itu. Aku tidak berpikir cari suami baru. Aku berpikir hanya
kepada perutku yang baru disadari seminggu yang lalu. Aku hamil.
Tuhan
mungkin berkehendak lain. Inilah jalanku. Hidupku. Justru pada saat-saat
terakhir kami bersama suamiku bercinta, saat itulah Tuhan memberikan titipan-Nya.
Dalam perutku ini ada buah cinta kami. Muara tidak tahu itu, aku takut
mengganggu keutuhan rumah tangga barunya.
***
Sekarang di jendela putih sebuah kamar, aku memandang hujan kebiasaan
ritualku. Secangkir teh tembikar lengkap dengan tekonya menemani, white tea. Di luar sana hujan semakin
deras, membentuk kabut dan tiupan angin membawa daun kering terbang. Sepintas
aku melihat sosok berbaju putih berdiri lagi di garasi. Dia baru pulang kerja
nampaknya. Momen itu sengaja aku tunggu. Dialah anak perempuanku yang sudah
menjelang dewasa dan sudah pula bekerja di Bank. Namanya aku ambil dari nama latin teh, untuk mengingatkan
kebiasaan ritual kami bersama papanya dulu minum teh dimusim hujan. Papanya
yang telah mengisi kursi kosong putih itu.
Anak
gadisku itu aku beri nama Camellia Tea.
“l love you Tea…”
Depok, 26 Desember
2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar