Sendiri bersama aku
Sebagian
besar orang muda kota yang berjiwa petualang,
ingin
hidup dihutan. Tapi banyak yang gagal.
Pak
Hasan bisa sendiri, berteman hati.
Berbicara
dengan hati.
Mencintai
hati.
Sendiri.
dan
aku
Berteman
sepi dan menikmatinya. Manusia yang langka. Jarang ada orang seperti Pak Hasan,
yang menganggap hutan kayu sudah seperti rumahnya sendiri. Tidak ada hiburan di
sana, kecuali sebuah radio tua empat ban, dengan tombol putar tuning besar,
yang selalu tergantung di dinding depan gubuknya. Bila dibunyikan yang sering
terdengar adalah suara gelombang gemeresek
sepanjang jalur programnya. Lalu sekali mendapat gelombang yang pas,
terdengar penyiar membacakan berita sepanjang hari. Itulah siaran radio RRI.
Tanah hutan yang selalu lembab dengan
daun-daun basah yang lama kering adalah tanah subur yang disenangi petani,
karena mudah diolah dan warnanya cenderung kehitaman. Tidak susah mencari
makanan nabati di hutan yang diolah dengan baik itu. Di kebunnya tidak akan
mungkin kelaparan. Bila nasi menjadi langka, masih ada ketela pohon, ubi dan
jagung. Pak Hasan sering malakukan itu. Dia tak bergantung kepada makan nasi,
walaupun sebenarnya dia mampu membeli beras. Dia adalah bagian dari alam dan
mencintainya.
Pagi sebelum turun ke kebun, usai
sholat subuh yang dingin dan gelap, dia keluar untuk membuat api unggun kecil
di halaman gubuknya. Beberapa kayu kering disiapkan, dikumpulkannya di tengah
lingkaran kecil batu untuk api unggun. Pak Hasan membakar kayu itu sambil
memasak air di ceret hitam. Beberapa singkong dimasukan kedalam bara api.
Dengan topi woll hitam model bayi di
kepala, jaket hitam, dan sarung yang tersampir di pundak, Pak Hasan menunggu
air mendidih dan singkong bakar matang. Dia duduk di batu, meringkuk sambil
menjaga api. Biasanya yang lebih cepat matang adalah air yang terpanggang di
ceret. Dia dengan santai membuat kopi, setelah itu mengambil papir, manaruh
beberapa tembakau, menggulungnya di atas paha dan menjiladnya sebagi lem. Bara
api segera membantu menyalakan rokok lintingan.
Phusssss.... asap mengepul dari
bibirnya. Sruputtttt…. seteguk kopi hangat membasahi tenggorokannya.
Tinggal menunggu singkong panggang.
Beberapa di antaranya sudah nampak matang. Pak Hasan menyingkirkannya, lalu membelah.
Asap tipis mengepul dari singkong empuk berwarna kuning. Pelan tapi pasti
singkong hangat itu dikunyah sambil menunggu matahari pagi terang.
Sruputtt. . . seteguk kopi mendorong
singkong di tengorokannya. Phussss. . .
rokok lintingan dihembuskan.
Nikmatnya sendiri dihutan kayu.
Suara burung sudah terdengar bernyanyi.
Langitpun nampak bersinar tipis. Gelas kopi dikepal oleh dua tangan di dalam
sarung agar panasnya tak segera hilang. Sejenak Pak Hasan menikmati suara
alamnya. Itulah hiburan pagi, sebelum kemudian mendengarkan berita pagi pukul
enam dari radio siaran RRI:
…..Pasar induk keramat jati.
Kol gepeng harga perkilo limaratus rupiah.
Wortel tanpa daun harga perkilo delapan ratus rupiah.
Tomat gondol harga perkilo limaratus rupiah.
Jagung pipilan harga perkilo dua ratus rupih.
Jagung manis harga perkilo tigaratus rupih…..
Masih belum berubah, batinnya, ketika
mendengar harga jagung sudah satu bulan nilainya masih sama. Dia lalu beringsut
mengambil pacul dan parang. Matahari sudah beranjak terang. Pekerjaan hari ini
adalah membuat parit air disepanjang kebun jagungnya. Pelan dia mulai pagi ini
dengan pekerjaannya mendalamkan parit yang sebenarnya sudah ada. Didalamkan
sedikit untuk drainase pengairan, agar bila musim hujan nanti air dapat
mengalir dengan baik di kebunnya.
Lama Pak Hasan bekerja dengan posisi
mundur sambil mengeruk sisa tanah. Diangkat lalu ditaruh di sisi parit kanan
dan kiri. Terus mundur diantara deretan pagar singkong. Berbelok ke kanan
ketika bertemu sudut pagar yang bersebelahan dengan tanaman jagung. Berbelok
lagi ke kiri di sudut yang besebelahan dengan kebun kacang tanah. Berbelok lagi
di sudut pagar tanaman ubi jalar. Kalau dipikir-pikir ada di kebun Pak Hasan
rasanya seperti dalam labirin tanaman pagar hidup seperti taman.
Pekerjaan mendalamkan parit mendadak
berhenti di dekat pagar kebun ubi jalar.
Hmmmmm, ini ulah babi hutan, pikirnya,
kepada pagar yang rusak porak poranda. Di sana terlihat banyak jejak kaki babi
hutan.
Babi hutan mamang masih banyak di hutan
Ciwidey. Babi itu warnanya hitam dan hidup saling berkelompok. Biasanya babi
hutan berkelompok satu keluarga, terdiri dari induk, pejantan, dan
anak-anaknya. Kelompok itu jumlahnya bisa mencapai dua belas ekor lebih.
Pak Hasan lalu masuk ke kebun ubi jalarnya.
Nampak guludan ubi jalar lima jalur sepanjang tigapuluh meter, hancur oleh babi
hutan. Binatang itu memakan ubinya, nampak dari serpihan-serpihan sisa makanan
yang tak terkunyah berceceran di kebun. Dia diam lama memandangi kebunnya,
otaknya berpikir mencari jalan keluar untuk mengatasi hama babi ini.
Hama bertubuh besar ini sudah
berulangkali menghancurkan kebunnya, hampir setiap musim panen. Tahun lalu yang
di rusak adalah tanaman jagungnya, sekarang tanaman ubi. Babi itu harus
diberikan pelajaran. Saya sudah bosan dikerjain babi, batin Pak Hasan. Hatinya
kesal, sangat kesal. Awalnya memang dia tidak pernah peduli dengan kerusakan
yang terjadi di kebunnya, karena selama itu yang dirusak hanya sedikit. Tapi
sekarang sama seperti dengan tahun lalu, babi-babi itu memporak porandakan
kebunnya yang sudah siap panen.
Pekerjaan mendalamkan parit dilanjutkan
sampai selesai ke pinggiran kebun dekat gubuknya, kemudian Pak Hasan mampir ke
gubuknya sekalian mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan babi. Setelah
itu dia kembali lagi ke kebun ubi dengan perlengkapan parang tajam yang sudah
tersampir dipinggang, tombak runcing juga sudah tersampir di punggungnya, tak
ketinggalan juga tali plastik besar. Dia harus melawan hama babi itu.
Jejak-jejak babi di kebunnya ditelusuri sampai ke hutan kayu.
Dengan tombak, semak yang tinggi di
kibas-kibas, berharap ada petunjuk jejak babi di sana. Tapi itu sulit, karena
semak bercampur rumput tidak meninggalkan jejak apapun. Di atas rumput jejak
babi itu hilang.
Ini dia…Pak Hasan tiba-tiba jongkok di pinggir hutan. Dia
melihat jalan babi di genangan air selebar tampah. Jejaknya cukup banyak.
Genangan air itu nampak kumuh dan bau, warnanya sudah hitam menyerupai genangan
air got.
Genangan air ini yang mengundang warga
hutan seperti babi mampir untuk sekedar minum. Mudah-mudahan hanya babi,
monyet, dan burung yang mampir ke sini. Jangan sampai ada macan, karena pernah
ada warga yang melihat macan atau meong di tempat ini, batin Pak Hasan, sambil
memandang jauh kedalam hutan. Otaknya berpikir mencari cara untuk menangkapnya.
Sebaiknya dibuat jebakan dengan tali,
batinnya.
Dia lalu mencari pohon di sekitar itu
yang mempunyai dahan ranting panjang. Setelah dapat yang cocok, diikatnya ujung
dahan panjang itu dengan tali plastik. Ditariknya tali plastik itu agar
dahannya melengkung. Setelah lengkungan cukup kuat, di bawah tanah disiapkan
simpul tali yang sudah di ganjal dengan dua patok kayu, lalu di ujung tali
dibuatkan jerat selebar piring, di mana di tengah-tengahnya di siapkan kayu
ranting jungkitan. Kayu jungkitan di tengah simpul hidup itu, bila kesenggol
akan lepas oleh tarikan dahan kayu yang melengkung dan menarik lingkaran tali
plastik hidup. Bila ada kaki disana, maka langsung menyeret kaki babi sampai
bergelantungan di pohon. Semoga dahan kayu ini kuat menahan berat babi.
Setelah semua siap, Pak Hasan memberikan
umpan babi disekitar tali plastik berupa ubi yang sudah dipotong-potong. Lalu
pulang ke gubuknya dengan harapan akan mendapatkan babi terjebak di sana.
Buat pelajaran, sebab biasanya binatang
akan cepat takut dengan kejadian yang mengejutkan, lalu kapok datang lagi ke
kebunnya. Untuk babinya kalau dapat di jebak, dia akan serahkan kepada warga,
biar warga saja yang mengurusnya. Sebab banyak juga orang disekitar sini yang
senang menangkap babi lalu di jual kepada orang Tionghoa yang boleh mamakan
dagingnya.
***
Biasanya setelah sholat isya Pak Hasan
sudah duduk santai sendiri di dekat perapian sambil minum kopi dan merokok
papir lagi.
Phusssss. . . kepulan asap papir cepat
lenyap di bawa angin malam. Untuk menambah kehangatan, radio empat ban diputar.
Siaran berita radio RRI segera berkumandang melaporkan berita kinerja kabinet
pelita ke empat.
Sambil menunggu nasi matang yang
dimasak dengan cara digantung di atas perapian, Pak Hasan mendengarkan berita
malam tentang kegiatan beberapa mentri yang mengadakan rapat kabinet di
Binagraha, yang diteruskan dengan laporan khusus mentri penerangan merangkum
hasil rapat khususnya tentang kinerja pembangunan pelita empat.
Berita laporan kabinet berakhir dengan
mendendangkan lagu keluarga berencana sebagai penutup:
(musik
pembuka)
keluarga berencana
sudah waktunya
janganlah diragukan lagi
keluarga berencana
besar maknanya……
Siaran radio RRI masuk ke acara lagu
daerah.
Pak Hasan mengangkat nasi di periuknya
yang sudah matang, lalu perlahan dan dengan santainya dia mengoreng ikan asin
di dingin malam.
Dendang musik jaipong terdengar di
radio, tapi Pak Hasan asyik sibuk sendiri. Gemeretak suara kayu yang hangus
terbakar dan desis minyak goreng ketika ikan asin digoreng, menambah keceriaan
di suasana sepi. Harumnya membuat seketika perutnya menjadi lapar. Dia masih
bertahan menunggu sambal kocok. Diambilnya cangkir bambu yang menyerupai tempat
minum, garam, tomat, cabe merah, cabe rawit, dan sedikit gula merah. Bumbu itu
dimasukan kedalam bambu, lalu ditumbuk dengan kayu yang khusus di buat
pengganti ulekan.
Dua potong ikan asin kering sudah
diangkat dari wajannya. Sepiring nasi hangat sudah mengepul, tinggal sambal
kocoknya diletakan dipinggiran piring. Kumplit!
Air liur pak Hasan sudah mengumpul di
mulutnya, lapar sudah menggaruk perut dan napsunya. Sendiri dalam dendang
jaipong siaran RRI, di dalam hutan kayu yang sepi, Pak Hasan berpesta.
Malam itu setelah kantuk datang membelai
mata, Pak Hasan tidur ditemani suara jangkrik dan burung malam. Suara satwa
yang aneh, yang biasa di dengar tak melunturkan kantuknya. Nun jauh di atas
pepohonan sana bulan sedang bersinar terang. Bintang bertebaran berkilau. Dalam
tidurnya Pak Hasan seperti utuh, kerut wajahnya lepas tak keruh. Dia
benar-benar tertidur dalam belaian malam yang dingin. Tak ada yang dipikirkan
untuk kegiatan esok hari, tak ada tuntutan yang memaksa. Hidupnya adalah alam
yang bebas. Dia bekerja karena dia suka dan mampu. Fisiknya masih kuat walau
usianya sedang mendekati angka empat puluh lima. Dia mencintai dunianya, hidup
dengan bertani adalah jiwanya. Bekerja hingga larut malam bukanlah beban. Lalu
sholat yang dia tekuni itu adalah nyawa yang sudah dipelajarinya sejak kecil,
dia hidup bahagia dengan sepi.
Sampai ketika teriakan binatang aneh
terjerat oleh jebakannya. Lolongannya tak mengusiknya dari tidur. Padahal
seekor babi dewasa ukuran sedang sudah berayun-ayun di dahan. Melolong
menakutkan. Bergerak sekuat tenaga pun percuma karena tak menyentuh tanah.
Binatang itu hampa tak bertenaga karena tak ada pijakan. Taringnya abu-abu
kotor nampak lebih dominan di mulutnya. Air liurnya berceceran, matanya tajam
menusuk, dengusnya dan lolongannya mengerikan, seperti jeritan setan. Jeritan
itu yang membuat satwa lain mejauh dari kebun Pak Hasan. Hanya anjing liar yang
dapat mengerti irama lolongan setan, lalu anjing liar itu membalas melolong. Suaranya
terdengar sayup-sayup membuat merinding.
Ketika pagi datang, Pak Hasan sudah di
depan api unggun kecil sambil ngopi seperti biasa.
Suara babi yang tergantung kelelahan
menjerit, membelah sepi.
Pak Hasan tersenyum.
Di pagi ini kalau ada suara babi, itu
berarti jeratannya berhasil mengenai sasarannya. Pak Hasan tak segera melihat
babi itu, dia terus melajutkan rutinitas paginya sampai sarapan singkong
bakarnya selesai. Lalu dengan tombak di tangan dan parang di pinggang, pukul
tujuh dia mendatangi binatang itu.
“Kena kau bedebah”, bisik Pak Hasan,
kepada seekor babi yang sedang bergantung di dahan jambu air besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar