Rabu, 12 April 2017

cerpen: Sendiri bersama aku

Sendiri bersama aku


Sebagian besar orang muda kota yang berjiwa petualang,
ingin hidup dihutan. Tapi banyak yang gagal.
Pak Hasan bisa sendiri, berteman hati.
Berbicara dengan hati.
Mencintai hati.
Sendiri.
dan
aku



Berteman sepi dan menikmatinya. Manusia yang langka. Jarang ada orang seperti Pak Hasan, yang menganggap hutan kayu sudah seperti rumahnya sendiri. Tidak ada hiburan di sana, kecuali sebuah radio tua empat ban, dengan tombol putar tuning besar, yang selalu tergantung di dinding depan gubuknya. Bila dibunyikan yang sering terdengar adalah suara gelombang gemeresek sepanjang jalur programnya. Lalu sekali mendapat gelombang yang pas, terdengar penyiar membacakan berita sepanjang hari. Itulah siaran radio RRI.
        Tanah hutan yang selalu lembab dengan daun-daun basah yang lama kering adalah tanah subur yang disenangi petani, karena mudah diolah dan warnanya cenderung kehitaman. Tidak susah mencari makanan nabati di hutan yang diolah dengan baik itu. Di kebunnya tidak akan mungkin kelaparan. Bila nasi menjadi langka, masih ada ketela pohon, ubi dan jagung. Pak Hasan sering malakukan itu. Dia tak bergantung kepada makan nasi, walaupun sebenarnya dia mampu membeli beras. Dia adalah bagian dari alam dan mencintainya.
        Pagi sebelum turun ke kebun, usai sholat subuh yang dingin dan gelap, dia keluar untuk membuat api unggun kecil di halaman gubuknya. Beberapa kayu kering disiapkan, dikumpulkannya di tengah lingkaran kecil batu untuk api unggun. Pak Hasan membakar kayu itu sambil memasak air di ceret hitam. Beberapa singkong dimasukan kedalam bara api.
        Dengan topi woll hitam model bayi di kepala, jaket hitam, dan sarung yang tersampir di pundak, Pak Hasan menunggu air mendidih dan singkong bakar matang. Dia duduk di batu, meringkuk sambil menjaga api. Biasanya yang lebih cepat matang adalah air yang terpanggang di ceret. Dia dengan santai membuat kopi, setelah itu mengambil papir, manaruh beberapa tembakau, menggulungnya di atas paha dan menjiladnya sebagi lem. Bara api segera membantu menyalakan rokok lintingan.
       Phusssss.... asap mengepul dari bibirnya. Sruputtttt…. seteguk kopi hangat membasahi tenggorokannya.
       Tinggal menunggu singkong panggang. Beberapa di antaranya sudah nampak matang. Pak Hasan menyingkirkannya, lalu membelah. Asap tipis mengepul dari singkong empuk berwarna kuning. Pelan tapi pasti singkong hangat itu dikunyah sambil menunggu matahari pagi terang.
        Sruputtt. . . seteguk kopi mendorong singkong di tengorokannya. Phussss. . .  rokok lintingan dihembuskan.
       Nikmatnya sendiri dihutan kayu.                       
       Suara burung sudah terdengar bernyanyi. Langitpun nampak bersinar tipis. Gelas kopi dikepal oleh dua tangan di dalam sarung agar panasnya tak segera hilang. Sejenak Pak Hasan menikmati suara alamnya. Itulah hiburan pagi, sebelum kemudian mendengarkan berita pagi pukul enam dari radio siaran RRI:

         …..Pasar induk keramat jati.
        Kol gepeng harga perkilo limaratus rupiah.
        Wortel tanpa daun harga perkilo delapan ratus rupiah.
       Tomat gondol harga perkilo limaratus rupiah.
       Jagung pipilan harga perkilo dua ratus rupih.
       Jagung manis harga perkilo tigaratus rupih…..

       Masih belum berubah, batinnya, ketika mendengar harga jagung sudah satu bulan nilainya masih sama. Dia lalu beringsut mengambil pacul dan parang. Matahari sudah beranjak terang. Pekerjaan hari ini adalah membuat parit air disepanjang kebun jagungnya. Pelan dia mulai pagi ini dengan pekerjaannya mendalamkan parit yang sebenarnya sudah ada. Didalamkan sedikit untuk drainase pengairan, agar bila musim hujan nanti air dapat mengalir dengan baik di kebunnya.
       Lama Pak Hasan bekerja dengan posisi mundur sambil mengeruk sisa tanah. Diangkat lalu ditaruh di sisi parit kanan dan kiri. Terus mundur diantara deretan pagar singkong. Berbelok ke kanan ketika bertemu sudut pagar yang bersebelahan dengan tanaman jagung. Berbelok lagi ke kiri di sudut yang besebelahan dengan kebun kacang tanah. Berbelok lagi di sudut pagar tanaman ubi jalar. Kalau dipikir-pikir ada di kebun Pak Hasan rasanya seperti dalam labirin tanaman pagar hidup seperti taman.
      Pekerjaan mendalamkan parit mendadak berhenti di dekat pagar kebun ubi jalar.
      Hmmmmm, ini ulah babi hutan, pikirnya, kepada pagar yang rusak porak poranda. Di sana terlihat banyak jejak kaki babi hutan.
       Babi hutan mamang masih banyak di hutan Ciwidey. Babi itu warnanya hitam dan hidup saling berkelompok. Biasanya babi hutan berkelompok satu keluarga, terdiri dari induk, pejantan, dan anak-anaknya. Kelompok itu jumlahnya bisa mencapai dua belas ekor lebih.
       Pak Hasan lalu masuk ke kebun ubi jalarnya. Nampak guludan ubi jalar lima jalur sepanjang tigapuluh meter, hancur oleh babi hutan. Binatang itu memakan ubinya, nampak dari serpihan-serpihan sisa makanan yang tak terkunyah berceceran di kebun. Dia diam lama memandangi kebunnya, otaknya berpikir mencari jalan keluar untuk mengatasi hama babi ini.
       Hama bertubuh besar ini sudah berulangkali menghancurkan kebunnya, hampir setiap musim panen. Tahun lalu yang di rusak adalah tanaman jagungnya, sekarang tanaman ubi. Babi itu harus diberikan pelajaran. Saya sudah bosan dikerjain babi, batin Pak Hasan. Hatinya kesal, sangat kesal. Awalnya memang dia tidak pernah peduli dengan kerusakan yang terjadi di kebunnya, karena selama itu yang dirusak hanya sedikit. Tapi sekarang sama seperti dengan tahun lalu, babi-babi itu memporak porandakan kebunnya yang sudah siap panen.
       Pekerjaan mendalamkan parit dilanjutkan sampai selesai ke pinggiran kebun dekat gubuknya, kemudian Pak Hasan mampir ke gubuknya sekalian mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan babi. Setelah itu dia kembali lagi ke kebun ubi dengan perlengkapan parang tajam yang sudah tersampir dipinggang, tombak runcing juga sudah tersampir di punggungnya, tak ketinggalan juga tali plastik besar. Dia harus melawan hama babi itu. Jejak-jejak babi di kebunnya ditelusuri sampai ke hutan kayu.
        Dengan tombak, semak yang tinggi di kibas-kibas, berharap ada petunjuk jejak babi di sana. Tapi itu sulit, karena semak bercampur rumput tidak meninggalkan jejak apapun. Di atas rumput jejak babi itu hilang.
        Ini dia…Pak Hasan  tiba-tiba jongkok di pinggir hutan. Dia melihat jalan babi di genangan air selebar tampah. Jejaknya cukup banyak. Genangan air itu nampak kumuh dan bau, warnanya sudah hitam menyerupai genangan air got.
        Genangan air ini yang mengundang warga hutan seperti babi mampir untuk sekedar minum. Mudah-mudahan hanya babi, monyet, dan burung yang mampir ke sini. Jangan sampai ada macan, karena pernah ada warga yang melihat macan atau meong di tempat ini, batin Pak Hasan, sambil memandang jauh kedalam hutan. Otaknya berpikir mencari cara untuk menangkapnya.
       Sebaiknya dibuat jebakan dengan tali, batinnya.
       Dia lalu mencari pohon di sekitar itu yang mempunyai dahan ranting panjang. Setelah dapat yang cocok, diikatnya ujung dahan panjang itu dengan tali plastik. Ditariknya tali plastik itu agar dahannya melengkung. Setelah lengkungan cukup kuat, di bawah tanah disiapkan simpul tali yang sudah di ganjal dengan dua patok kayu, lalu di ujung tali dibuatkan jerat selebar piring, di mana di tengah-tengahnya di siapkan kayu ranting jungkitan. Kayu jungkitan di tengah simpul hidup itu, bila kesenggol akan lepas oleh tarikan dahan kayu yang melengkung dan menarik lingkaran tali plastik hidup. Bila ada kaki disana, maka langsung menyeret kaki babi sampai bergelantungan di pohon. Semoga dahan kayu ini kuat menahan berat babi.
       Setelah semua siap, Pak Hasan memberikan umpan babi disekitar tali plastik berupa ubi yang sudah dipotong-potong. Lalu pulang ke gubuknya dengan harapan akan mendapatkan babi terjebak di sana.
        Buat pelajaran, sebab biasanya binatang akan cepat takut dengan kejadian yang mengejutkan, lalu kapok datang lagi ke kebunnya. Untuk babinya kalau dapat di jebak, dia akan serahkan kepada warga, biar warga saja yang mengurusnya. Sebab banyak juga orang disekitar sini yang senang menangkap babi lalu di jual kepada orang Tionghoa yang boleh mamakan dagingnya.
***

        Biasanya setelah sholat isya Pak Hasan sudah duduk santai sendiri di dekat perapian sambil minum kopi dan merokok papir lagi.
        Phusssss. . . kepulan asap papir cepat lenyap di bawa angin malam. Untuk menambah kehangatan, radio empat ban diputar. Siaran berita radio RRI segera berkumandang melaporkan berita kinerja kabinet pelita ke empat.
        Sambil menunggu nasi matang yang dimasak dengan cara digantung di atas perapian, Pak Hasan mendengarkan berita malam tentang kegiatan beberapa mentri yang mengadakan rapat kabinet di Binagraha, yang diteruskan dengan laporan khusus mentri penerangan merangkum hasil rapat khususnya tentang kinerja pembangunan pelita empat.
        Berita laporan kabinet berakhir dengan mendendangkan lagu keluarga berencana sebagai penutup:

        (musik pembuka)
        keluarga berencana  
        sudah waktunya
        janganlah diragukan lagi
        keluarga berencana
        besar maknanya……

        Siaran radio RRI masuk ke acara lagu daerah.
        Pak Hasan mengangkat nasi di periuknya yang sudah matang, lalu perlahan dan dengan santainya dia mengoreng ikan asin di dingin malam.
       Dendang musik jaipong terdengar di radio, tapi Pak Hasan asyik sibuk sendiri. Gemeretak suara kayu yang hangus terbakar dan desis minyak goreng ketika ikan asin digoreng, menambah keceriaan di suasana sepi. Harumnya membuat seketika perutnya menjadi lapar. Dia masih bertahan menunggu sambal kocok. Diambilnya cangkir bambu yang menyerupai tempat minum, garam, tomat, cabe merah, cabe rawit, dan sedikit gula merah. Bumbu itu dimasukan kedalam bambu, lalu ditumbuk dengan kayu yang khusus di buat pengganti ulekan.
       Dua potong ikan asin kering sudah diangkat dari wajannya. Sepiring nasi hangat sudah mengepul, tinggal sambal kocoknya diletakan dipinggiran piring. Kumplit!
        Air liur pak Hasan sudah mengumpul di mulutnya, lapar sudah menggaruk perut dan napsunya. Sendiri dalam dendang jaipong siaran RRI, di dalam hutan kayu yang sepi, Pak Hasan berpesta.         
       Malam itu setelah kantuk datang membelai mata, Pak Hasan tidur ditemani suara jangkrik dan burung malam. Suara satwa yang aneh, yang biasa di dengar tak melunturkan kantuknya. Nun jauh di atas pepohonan sana bulan sedang bersinar terang. Bintang bertebaran berkilau. Dalam tidurnya Pak Hasan seperti utuh, kerut wajahnya lepas tak keruh. Dia benar-benar tertidur dalam belaian malam yang dingin. Tak ada yang dipikirkan untuk kegiatan esok hari, tak ada tuntutan yang memaksa. Hidupnya adalah alam yang bebas. Dia bekerja karena dia suka dan mampu. Fisiknya masih kuat walau usianya sedang mendekati angka empat puluh lima. Dia mencintai dunianya, hidup dengan bertani adalah jiwanya. Bekerja hingga larut malam bukanlah beban. Lalu sholat yang dia tekuni itu adalah nyawa yang sudah dipelajarinya sejak kecil, dia hidup bahagia dengan sepi.
       Sampai ketika teriakan binatang aneh terjerat oleh jebakannya. Lolongannya tak mengusiknya dari tidur. Padahal seekor babi dewasa ukuran sedang sudah berayun-ayun di dahan. Melolong menakutkan. Bergerak sekuat tenaga pun percuma karena tak menyentuh tanah. Binatang itu hampa tak bertenaga karena tak ada pijakan. Taringnya abu-abu kotor nampak lebih dominan di mulutnya. Air liurnya berceceran, matanya tajam menusuk, dengusnya dan lolongannya mengerikan, seperti jeritan setan. Jeritan itu yang membuat satwa lain mejauh dari kebun Pak Hasan. Hanya anjing liar yang dapat mengerti irama lolongan setan, lalu anjing liar itu membalas melolong. Suaranya terdengar sayup-sayup membuat merinding.       
       Ketika pagi datang, Pak Hasan sudah di depan api unggun kecil sambil ngopi seperti biasa.
       Suara babi yang tergantung kelelahan menjerit, membelah sepi.
       Pak Hasan tersenyum.
       Di pagi ini kalau ada suara babi, itu berarti jeratannya berhasil mengenai sasarannya. Pak Hasan tak segera melihat babi itu, dia terus melajutkan rutinitas paginya sampai sarapan singkong bakarnya selesai. Lalu dengan tombak di tangan dan parang di pinggang, pukul tujuh dia mendatangi binatang itu.
       “Kena kau bedebah”, bisik Pak Hasan, kepada seekor babi yang sedang bergantung di dahan jambu air besar.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar