Judul: Komandan Angin
Genre: Petualangan
Penulis: Imam Budiarso
Sinopsis
Perjalanan itu berjarak 58 kilometer dari Sukabumi menuju Bogor. Ken lalui semuanya sendiri dengan berjalan kaki, karena ini adalah perjalanan Nazar.
Dalam perjalanan dia ditemani oleh masa lalu. Langkah demi langkahnya adalah putaran ulang vidio yang sedang diputar di otaknya. Dia ingat dengan KOMANDAN ANGIN, nama sepeda penjelajah yang berjalan di atas rel kereta api hasil modifikasi Pakde Mus, dan teman-teman di asrama yang tidak takut mati: Menyusuri guha, mengarungi jeram sungai Ciliwung, berteman dengan hantu guha, perang pedang kayu kopi, melihat bom meledak merontokkan guha, dan bertemu sang pertapa.
Cerita ini adalah kisah tentang Ken yang kreatif bersama teman-temannya berpetualang dengan Komandan angin Ke Sukabumi dan Ciwidey Bandung Selatan. Mengacaukan pabrik kayu pembalakan liar.
Tentang Sekolah Pertanian Menengah yang tak banyak diketahui orang, ada dibawah kaki gunung Gede dan ada Cinta yang mengantar mereka hingga ke IPB.
1
Pernah dikejar satpam?
Rantai
penambat kayu sungai
Pada hari minggu ketika para warga
pemilik sawah berkumpul di balai desa, Ken dan teman-temannya menyiapkan
kendaraan unik, komandan angin, untuk
pergi ke kebun Pak Hasan.
Untuk menuju kebun Pak Hasan di Bukit
Patuha yang berjarak tujuh kilometer, komandan angin melewati dua buah
jembatan. Jembatan itu adalah jembatan Ciantik dan jembatan Rancagoong.
Keduanya melewati satu sungai yang sama,
sungai Ciwidey yang melingkar membentuk huruf "U" tidak simetris.
Jembatan Ciantik dilingkungan warga Ciwidey kurang populer karena bentuknya
kecil, hanya memiliki panjang 30 meter.
Dengan kecepatan 10 km per jam, melewati
jembatan Ciantik komandan angin tidak mengalami kesulitan yang berarti, walau
kewaspadaan harus tetap dijaga. Itu dapat dirasakan dari goyangan ketika
berjalan di atasnya. Struktur bangunannya kuat tetapi tidak anggun dan banyak
ditutupi oleh pepohonan merambat.
Berbeda dengan jembatan kedua,
Rancagoong, yang memiliki panjang kurang lebih 90 meter. Jembatan itu selain
panjang, di atasnya banyak terdapat rangka besi yang sudah berkarat sebagai
pilar-pilar penunjang kekuatan. Dan pada bagian ujung-ujung jembatan dibuatkan
pondasi yang berlubang melengkung, seperti tembok besar. Dari jauh jembatan itu
nampak seperti sebuah dam atau bendungan. Bila berjalan diatasnya (mungkin
karena panjangnya dan sebagian pilar sudah terlepas) jembatan itu seperti
bergoyang.
Ken memberi komando untuk
mengurangi kecepatan, karena kondisi jembatan rawan dilalui. Hal itu juga
dibarengi dengan melipat layar komandan angin agar tidak disambar angin dengan
tiba-tiba.
Komandan angin mulai berjalan perlahan
dengan kecepatan lima kilometer per jam. Sena, Citno, Toto, dan Suleman pelan menggenjot
pedal dengan kakinya dalam satu irama. Pelan, terus merambat menuju ke tengah
jembatan terpanjang itu.
Di atas sana tim komandan angin merasa
seperti berada di suasana lain, seperti terbang di angkasa, melayang, tak ada
lagi pandangan dekat.
Betapa mengerikan berada di atas
jembatan Rancagoong. Waktu bagi yang takut rasanya begitu panjang. Seperti
Sena, dia tak mau membuka matanya. Citnopun demikian. Hanya Ken, Suleman dan
Toto yang menikmati ini, menikmati terbang.
Toto mulai jail dengan
melempar ranting kering kepada Suleman yang duduk di depannya.
Ketika Suleman menoleh ke belakang, Toto
mengarahkan jarinya menunjuk Sena dan Citno yang sedang memejamkan mata,
seperti sedang berdoa.
"Takut. . ." kata Toto
berbisik, sambil menutup mulut.
Suleman tersenyum.
"Aku denger," kata Sena.
Ken mengawasi ulah mereka. Takut
candanya di tengah jembatan ini keterlaluan.
Di bawah jembatan
mengalir sungai Ciwidey yang tenang, warnanya kuning muda. Di pinggir kiri
terdapat dua buah truk menurunkan kayu gelondongan untuk dihanyutkan ke sungai.
Ken memperhatikan itu. Lebih jauh dia merasa kenal dengan beberapa penumpang
yang berada di atas truk.
"Ssstttt Sena!"
bisik Ken kepada Sena yang duduk di depannya.
Sena terpaksa sekali menoleh, sambil
menutup matanya dengan tangan.
"Kamu kenal dengan orang itu, yang
sedang berdiri tolak pinggang di atas truk? Mereka sedang membelakangi kita,
jangan berisik!" tambah Ken.
Sena menengok ke bawah jembatan,
walaupun takut, dipaksakan juga.
"Itukan si Upay temannya
Udel," kata Sena
Citno yang sedang merem tiba-tiba melek.
"Ya Cit! Itu si Upay kan?" Sena
minta penegasan.
Citno memincingkan matanya serius melihat ke
bawah. Toto, Suleman yang mendengar mengikuti melihat ke bawah.
"Benar
Ken! Itu dia yang kita lihat di kebun Pak Hasan kemarin," jawab Citno.
"Mau
apa mereka ya?"
"Cepat kita sembunyikan komandan
angin ini sebelum mereka lihat kita!" seru Ken.
Mereka dengan gerakan berirama mengayuh lebih
kuat lagi agar cepat berlalu dari jembatan.
Setelah sampai di ujung jembatan,
"Ayo…kita intai mereka," ajak Sena, sambil turun dan menyembunyikan
komandan angin di semakbelukar. Kemudian dia bergegas berlari menanjak menuju
jembatan kereta api lagi. Sejenak Ken tertegun dengan gadis satu-satunya di tim
yang bernama Sena. Sungguh dia itu pembrani dan cantik lagi.
Di tempat tinggi yang tersembunyi dekat
pohon pisang, Ken tiarap bersama temannya memperhatikan tingkah si Upay.
"Mau di kemanakan kayu-kayu itu
ya?" tanya Suleman.
"Dia sepertinya mau membawa kayu itu
lewat sungai, karena kalau lewat jalan darat banyak polisi. Dia takut hasil
curiannya ketahuan, ini mencurigakan," jawab Ken.
"Itu
bisa juga. Yang jelas kayu itu mau di hanyutkan untuk sampai ketangan
penadahnya," kata Sena.
“Itu kayu curian? Mereka pencuri kayu?” tanya
Citno setengah berbisik. Teman-temannya yang sedang konsentrasi mengamati
pencuri tidak menggugris pertanyaan
Citno.
Benar saja, dari atas truk ketika di bongkar
satu persatu, kayu-kayu itu terlihat dihanyutkan ke sungai. Tinggal Ken dan
teman-temannya penasaran sampai di mana kayu-kayu itu dihanyutkan. Ken lalu
bergerak menaiki bukit lebih tinggi lagi untuk melihat jalur sungai Ciwidey.
"Mereka itu para pencuri kayu, aku pingin tau sampai di mana mereka
berhenti," kata Ken sambil terus berjalan ke atas bukit. Nampak di bawah
pemandangan sungai Ciwidey meliuk-liuk melingkar menghanyutkan kayu glondongan.
Sementara jauh di sana terlihat jembatan Ciantik.
Kurang lebih sekitar setengah
kilometer Ken dan teman-temannya menyusuri bukit mengikuti jalur sungai,
sampailah saat di mana kayu-kayu hanyut itu berhenti dan bertumpuk-tumpuk jadi
satu. Di sana terlihat ada semacam gudang besar mirip pabrik. Limaratus meter
di depan gudang itu terdapat jalan Raya Ciwidey. Di halaman gudang terlihat
tumpukan kayu yang sudah jadi, yaitu kayu-kayu yang sudah dibentuk sesuai
dengan ukurannya, siap dipasarkan.
"Jadi begitu ya caranya mereka?" Sena menggerutu sendiri
melihat pemandangan itu.
"Rupanya gudang itu pabrik kayu," lanjutnya.
"Coba lihat di sana ada tumpukan kayu glondongan yang mau diolah,
itu kayu albasia," kata Suleman.
"Ya, Itu kayu legal, hasil dari kebun sendiri. Dia berani lewat
jalan besar Ciwidey karena hasil kebun sendiri suratnya sudah lengkap.”
“Tapi yang itu!" Ken menunjuk Sungai.
"Itu hasil Curian,
ilegal. Di sana, selain kayu pinus juga banyak glondongan dari jenis kayu lain.
Lihat! ada kayu jatinya juga, padahal umurnya belum cukup," kata Ken.
"Banyak sekali
kayu yang berhenti," Toto heran.
"Mereka sedang
ngangkatin ke atas dari sungai,"
Citno menunjuk beberapa orang sedang mengangkat kayu ke atas sungai dan
ditumpuk jadi satu dengan kayu-kayu legal. Jadi seolah-olah itu adalah kayu
bukan curian.
"Ini
harus dilaporkan Ken," kata Suleman.
"Jangan kita laporkan tapi kita
akalin," balas Ken.
"Biar yang melaporkan masyarakat
saja."
"Caranya
gimana?" tanya Toto.
"Itu di sana, lihat gak, kenapa kayu itu bisa berhenti?" tanya Ken, menunjuk tumpukan kayu
yg mengambang di sungai.
"Itu ada penahannya."
"Penahan
itu sebuah rantai kecil yang terikat di sebuah pohon!" Kata Ken lagi,
sambil jari telunjuknya mengarah ke pohon kelapa yang batangnya terlilit rantai
kecil tapi kuat. Rantai itu membentang panjang menyebrangi sungai, menyentuh
air sungainya, lalu di seberang sungai rantai itu terikat pada pohon pete.
"Terus?" Toto
penasaran.
Sebentar Ken
diam. Dari atas bukit mereka duduk setengah jongkok bergerombol sambil
memandang sungai dan pos satpam.
"Menghancurkan mereka itu mudah, dalam sekejap mereka akan diringkus
polisi dan dikeroyok massa. Caranya dengan melepas ikatan rantai penahan kayu
itu,"
"Oh itu ya?" Sena
mengerti, diikuti yang lain.
"Jadi
kita lepas sekarang rantai penambat itu?" Citno bertanya.
"Ya, kalau dilepas maka kayu itu akan hanyut sampai jauh,
lalu akan ketahuan oleh masyarakat dan aparat. Mereka, para pencuri itu tak
mampu lagi untuk mengejar mengembalikan kayu-kayunya."
"Bagus itu Ken," Citno semangat.
"Ayo kita kerjain mereka. Aku
sudah gemes!"
"Sabar," kata Ken kepada Sena.
"Kita atur strategi, jangan semuanya turun kesana.”
“Begini!” Ken memberikan usul.
"Kita kalau turun semua ke sana
untuk membuka rantai itu, peluang untuk kepergok sama malingnya semakin
besar."
"Malingnya nanti bisa teriak
maling," bisik Toto kepada Citno.
"Jadi yang mau ikut turun ke
bawah dua orang saja. Aku dengan Suleman," lanjut Ken.
Suleman setuju. Dipilihnya Suleman oleh Ken
karena dalam hal apapun terlihat sirius, dia tidak suka bercanda, orangnya
waspada dan teliti.
"Jadi, kamu Sena, Toto, Citno, kembali
saja ke jembatan, terus siapkan komandan anginnya dalam hitungan 45 menit dari
sekarang. Maksudnya, sampai hitungan 45 menit itu kamu sudah siap berangkat
dengan komandan angin, aku, Suleman, nanti akan mencoba menyusul 15 menit
kemudian dengan mengejar dan naik dengan cara melompat, itu darurat paling pahit
kalau terjadi apa-apa. Mudah-mudahan sih tidak terjadi apa-apa, tapi antisipasi
untuk kabur dengan cepat perlu disiapkan!”
"Siap!" Kontan
Toto, Citno, Sena yang setengah jongkok memberi hormat militer kayak orang blo’on
Tuhkan, mereka
becanda dalam posisi sedang Sirius, kesal Ken, stengahnya dia sendiri juga gak
serius.
"Ayo kita ukur 45 menit kedepan!"
Ken melihat jarum jam tangannya, pukul 09.00.
"Sena jam
tangan kamu dicocokin."
Sena lalu
mencocokkan jarum jam tangan yang kontras manis dengan tangannya yang putih,
disaksikan Toto, Citno yang berkerumun di belakang Sena berdesakan, mungkin
mereka tidak sekedar melihat jam tangan.
"Siap
ya!" Mata Ken memperhatikan wajah teman-temannya agar serius, tapi mereka
malah asik melihat jam tangan Sena, menunggu jarum tipis bergerak ke angka 12.
Gaya militer yang sering dilihat ketika
Bapak-bapak militer sedang latihan perang itu ditiru oleh Ken dan teman-teman
ditempat tinggal meraka, sebuah asrama barak militer. Pelajaran itu sering juga
dapat di pramuka setiap minggu di asrama. Bapak-bapak militer seperti Kak Nur
berpangkat kopral sering memberi pelajaran itu. Pak guru Parwoto juga
memberikan pelajaran itu. Namanya survivel, hidup di alam bebas dengan disiplin
waktu, "Karena kalian memiliki tanggung jawab, minimal disiplin waktu"
kata kakak pramuka.
"Lima detik lagi!
Siap ya?” Kata Ken sambil memperhatikan jam. Sena juga memperhatikan jam di
lengan putihnya. Sedikit Ken mencuri pandang wajah Sena yang sedang serius
memperhatikan jam.
Wajah cantik di alam buas, batin Ken.
Ketika dilihat rambutnya lepas jatuh dari telinganya ke pipi putih, dan
bergantung di sana.
Sena lalu melirik Ken. Tabrakan mata
terjadi, Ken matanya lari. Astaga! Waktu! Pantesan tadi dia melirik aku, pikir
Ken.
"OK!
Jalan," Ken gugup, sambil berusaha berdiri, walau tahu waktu telihat lebih
tiga detik gara-gara memandang Sena.
Citno, Toto
dan Sena langsung jalan, walau Sena sempat melirik Ken sekali lagi atas kelebihan
waktu tiga detik tadi. Tiga detik yang mendebarkan buat Ken, tapi buat Sena,
mata itu mata protes kelebihan waktu. Ken saja yang GR.
Ken langsung menuruni
lembah menuju sungai sambil mengendap-ngendap, sesuai rencana. Suleman, sabagai
pengawas pendukung berada di belakang Ken. Matanya menyapu situasi, te
ngak-tengok kesegala penjuru. Diam di sudut pohon rimbun. Sasarannya adalah
pohon kelapa yang ada ikatan rantai itu. Mengendap-ngendap masuk ke satu pohon,
masuk ke pohon lainnya, terus begitu. Berhenti lagi.
Sementara Toto, Citno dan Sena sedang
setengah berlari menuju jembatan Rancagoong, menyusuri jejak awal langkah tadi
melewati kebun-kebun palawija. Ada tikungan satu kali lagi batas desa itu sudah
sampai. Dari sana baru jembatan Rancagoong akan terlihat.
Pukul 09.15.
Ditempat lain Ken 25
meter lagi hampir sampai pada pohon kelapa. Tak ada suara riak sungai. Sungai
ini amat tenang, setenang kayu gelondongan yang diam terapung.
Kuncinya hanya itu, pikir Ken, menatap
simpul rantai yang melilit pohon kelapa.
"Kamu awasi tempat ini Man, perhatikan sekitar. Aku
mau buka rantai itu," bisik Ken, dadanya sudah berdebar kencang.
Tanpa mendengar jawaban Suleman,
Ken langsung keluar dari persembunyiannya menuju pohon kelapa. Dia berlari lalu
berhenti persis di pohon kelapa. Sementara Suleman mengamati sekitar dengan
lebih waspada, takut kalau ada orang dari kelompok pekerja kayu datang.
Dan benar!
radar panca indra Suleman segera menangkap dua orang sudah menuruni lereng
hendak menuju Ken yang tengah membuka simpul rantai. Mereka, dua orang
berseragam putih biru itu sedang santai mengobrol. Badannya yang satu agak
gemuk yang satu lagi kurusan dan lebih tinggi.
Ini gejala buruk, pikir Suleman, langsung
saja dia berlari keluar dari persembunyiannya menuju Ken.
"Ada orang!" kata Suleman kepada Ken yang sedang sibuk
membuka simpul rantai.
Tanpa pikir panjang, mereka berdua
langsung berlari menaiki bukit, menghindar.
Sayang, ketika sedang berlari menaiki
bukit, salah satu dari dua orang itu melihat Ken dan Suleman, "Hoi!! Bocah
ngapain kamu!?"
"Hoi! Sedang apa
kamu!" sekali lagi. Mereka tidak berteriak maling-maling seperti pada
umumnya, karena yang dilihat hanyalah remaja tanggung atau mereka sendiri tidak enak
hati, karena maling sebenarnya ada di tempat ini.
Menyadari ada orang asing berlari terbirit-birit mereka jadi
penasaran, mau apa remaja tanggung itu? Tak cukup
berteriak –yg mungkin kurang keras– mereka meniupkan pluit. Rupanya kedua orang
berseragam putih itu adalah satpam pabrik kayu.
Di tengah bukit yang sepi suara pluit
itu khas dan mudah terdengar, sehingga kawannya yang berada ditempat lain
segera keluar dari gudang kayu. Yang sedang main domino berdiri. Yang sedang
tidur dibangunkan. Mereka para pekerja kayu itu berlari menuju sumber suara
pluit tadi, bertemu satpam lalu bertanya-tanya. Sang satpam menjawab dengan
telunjuk tangan kepada Ken dan Suleman yang tengah berlari menaiki lereng
bukit, menerobos kebun dan semak. Jalan setapak petani sudah tak dihiraukan
lagi, mereka terus berlari, pagar Kebun singkong dan kacang tanah di loncatin,
persis seperti rusa di kejar macan.
Pekerja dan
satpam kayu dengan alasan penasaran berusaha mengejar, tapi nampaknya sudah
kalah jauh. Jarak sudah tak bisa dijangkau lagi. Yang mengejar terutama
satpamnya tak mau menyerah, karena pikir mareka akan menerima resikonya kalau remaja baru gede itu melapor warga nanti. Mereka para pekerja, khususnya satpam
kayu belum tahu alasannya. Seharusnya tempat ini terlarang untuk didatangi
orang, tapi remaja tanggung itu luput dari pengawasan, dan mencurigakan, itu yang membuat dua
orang satpam penasaran dan nekad terus mengejar.
Ken dan Suleman sampai pada tikungan
batas desa, dimana akan terlihat jembatan Rancagoong. Sambil berlari ken
melihat jam tangannya.
Pukul 09.30.
Ken memperkirakan teman-temannya yang
lebih dahulu sampai di jembatan sudah menyiapkan komandan angin sesuai dengan
rencana.
Seperti harapan Ken, di tempat yang tersembunyi di atas
jembatan yang bagian tepinya tertutup pohon bambu, Sena dan Citno sudah stand by di kursinya masing-masing. Melihat
dengan harap-harap cemas ke arah tikungan jalan setapak di ujung bukit. Sena
melihat jam tangannya berkali-kali, sebelum akhirnya Ken bersama Suleman muncul
di tikungan sedang berlari menuruni bukit, meninggalkan debu kebun berterbangan
di belakangnya.
"ITU KEN!"
teriak Sena.
Toto segera mengambil posisi siap
mendorong, start.
Kaki Sena dan Citno berada diposisi stand
by diatas pedal, siap dikayuh. Tinggal menunggu di dorong oleh Toto. Pada
awal gerak komandan angin memang harus didorong sedikit sebagai simultan
gerakan tekan pedal di bagian kaki.
Ketika Ken bersama Suleman
semakin mendekat, jarak tinggal 50 meter lagi, komandan angin segera di dorong
oleh Toto, dibantu Sena dan Citno mengenjot pedalnya. Sena memperhatikan si pengejar
satpam itu nampak seperti orang putus asa. Mereka tertinggal jauh, nafas mereka
megap-megap terlihat dari
sebentar-sebentar berhenti membungkuk.
Ken dan Suleman berlari tinggal sepuluh meter
lagi mendekati komandan angin. Toto mempercepat langkah mendorongnya sambil di
bantu Citno dan Sena dengan genjotan pedal. Ken dan Suleman yang sudah sejajar
dengan komandan angin mengambil posisi di dekat kursinya masing-masing sambil
berlari. Diawali Suleman yang sudah melompat duduk di depan, kemudian disusul
Toto berlari, sekali lompatan duduk di depan Sena.
"Ayo Cepat
Ken!" Teriak Sena.
Tinggal Ken terakhir memburu komandan
angin dan hup! Ken sudah berdiri diposisinya, di belakang layar komandan angin,
melihat jam tangannya.
Pukul 09.45.
Komandan angin
melesat kencang, karena tenaga pengayuh pedalnya bertambah dua. Terus melaju
mengikuti jalur rel kereta api dengan mulus. Sementara Ken di belakang masih
sibuk mengatur nafasnya. Sena sempat memperhatikan itu. Komandan angin melaju
terus masuk hutan bambu di daerah Cisondari, sebelum masuk lagi hutan cemara
yang udaranya terasa mulai sejuk. Komandan angin luput dari kejaran satpam.
Mereka menuju kebun kayu Pak Hasan.
bersambung