Sabtu, 25 November 2017

komandan angin sinopsis




Judul: Komandan Angin
Genre: Petualangan
Penulis: Imam Budiarso

Sinopsis



Perjalanan itu berjarak 58 kilometer dari Sukabumi menuju Bogor. Ken lalui semuanya sendiri dengan berjalan kaki, karena ini adalah perjalanan Nazar.
Dalam perjalanan dia ditemani oleh masa lalu. Langkah demi langkahnya adalah putaran ulang vidio yang sedang diputar di otaknya. Dia ingat dengan KOMANDAN ANGIN, nama sepeda penjelajah yang berjalan di atas rel kereta api hasil modifikasi Pakde Mus, dan teman-teman di asrama yang tidak takut mati: Menyusuri guha, mengarungi jeram sungai Ciliwung, berteman dengan hantu guha, perang pedang kayu kopi, melihat bom meledak merontokkan guha, dan bertemu sang pertapa.
Cerita ini adalah kisah tentang Ken yang kreatif bersama teman-temannya berpetualang dengan Komandan angin Ke Sukabumi dan Ciwidey Bandung Selatan. Mengacaukan pabrik kayu pembalakan liar. 
Tentang Sekolah Pertanian Menengah yang tak banyak diketahui orang, ada dibawah kaki gunung Gede dan ada Cinta yang mengantar mereka hingga ke IPB.





1

Pernah dikejar satpam?

Rantai penambat kayu sungai









      Pada hari minggu ketika para warga pemilik sawah berkumpul di balai desa, Ken dan teman-temannya menyiapkan kendaraan unik, komandan angin,  untuk pergi ke kebun Pak Hasan.
     Untuk menuju kebun Pak Hasan di Bukit Patuha yang berjarak tujuh kilometer, komandan angin melewati dua buah jembatan. Jembatan itu adalah jembatan Ciantik dan jembatan Rancagoong. Keduanya melewati  satu sungai yang sama, sungai Ciwidey yang melingkar membentuk huruf "U" tidak simetris. Jembatan Ciantik dilingkungan warga Ciwidey kurang populer karena bentuknya kecil, hanya memiliki panjang 30 meter.
      Dengan kecepatan 10 km per jam, melewati jembatan Ciantik komandan angin tidak mengalami kesulitan yang berarti, walau kewaspadaan harus tetap dijaga. Itu dapat dirasakan dari goyangan ketika berjalan di atasnya. Struktur bangunannya kuat tetapi tidak anggun dan banyak ditutupi oleh pepohonan merambat.
       Berbeda dengan jembatan kedua, Rancagoong, yang memiliki panjang kurang lebih 90 meter. Jembatan itu selain panjang, di atasnya banyak terdapat rangka besi yang sudah berkarat sebagai pilar-pilar penunjang kekuatan. Dan pada bagian ujung-ujung jembatan dibuatkan pondasi yang berlubang melengkung, seperti tembok besar. Dari jauh jembatan itu nampak seperti sebuah dam atau bendungan. Bila berjalan diatasnya (mungkin karena panjangnya dan sebagian pilar sudah terlepas) jembatan itu seperti bergoyang.
       Ken memberi komando untuk mengurangi kecepatan, karena kondisi jembatan rawan dilalui. Hal itu juga dibarengi dengan melipat layar komandan angin agar tidak disambar angin dengan tiba-tiba.
       Komandan angin mulai berjalan perlahan dengan kecepatan lima kilometer per jam. Sena, Citno, Toto, dan Suleman pelan menggenjot pedal dengan kakinya dalam satu irama. Pelan, terus merambat menuju ke tengah jembatan terpanjang itu.
       Di atas sana tim komandan angin merasa seperti berada di suasana lain, seperti terbang di angkasa, melayang, tak ada lagi pandangan dekat.
       Betapa mengerikan berada di atas jembatan Rancagoong. Waktu bagi yang takut rasanya begitu panjang. Seperti Sena, dia tak mau membuka matanya. Citnopun demikian. Hanya Ken, Suleman dan Toto yang menikmati ini, menikmati terbang.
       Toto mulai jail dengan melempar ranting kering kepada Suleman yang duduk di depannya.
       Ketika Suleman menoleh ke belakang, Toto mengarahkan jarinya menunjuk Sena dan Citno yang sedang memejamkan mata, seperti sedang berdoa.
      "Takut. . ." kata Toto berbisik, sambil menutup mulut.
      Suleman tersenyum.
      "Aku denger," kata Sena.
       Ken mengawasi ulah mereka. Takut candanya di tengah jembatan ini keterlaluan.
       Di bawah jembatan mengalir sungai Ciwidey yang tenang, warnanya kuning muda. Di pinggir kiri terdapat dua buah truk menurunkan kayu gelondongan untuk dihanyutkan ke sungai. Ken memperhatikan itu. Lebih jauh dia merasa kenal dengan beberapa penumpang yang berada di atas truk.
       "Ssstttt Sena!" bisik Ken kepada Sena yang duduk di depannya.
       Sena terpaksa sekali menoleh, sambil menutup matanya dengan tangan.
      "Kamu kenal dengan orang itu, yang sedang berdiri tolak pinggang di atas truk? Mereka sedang membelakangi kita, jangan berisik!" tambah Ken.
       Sena menengok ke bawah jembatan, walaupun takut, dipaksakan juga.
       "Itukan si Upay temannya Udel," kata Sena
       Citno yang sedang merem tiba-tiba melek.
       "Ya Cit! Itu si Upay kan?" Sena minta penegasan.
      Citno memincingkan matanya serius melihat ke bawah. Toto, Suleman yang mendengar mengikuti melihat ke bawah.
      "Benar Ken! Itu dia yang kita lihat di kebun Pak Hasan kemarin," jawab Citno.
      "Mau apa mereka ya?"
      "Cepat kita sembunyikan komandan angin ini sebelum mereka lihat kita!" seru Ken.
       Mereka dengan gerakan berirama mengayuh lebih kuat lagi agar cepat berlalu dari jembatan.
       Setelah sampai di ujung jembatan, "Ayo…kita intai mereka," ajak Sena, sambil turun dan menyembunyikan komandan angin di semakbelukar. Kemudian dia bergegas berlari menanjak menuju jembatan kereta api lagi. Sejenak Ken tertegun dengan gadis satu-satunya di tim yang bernama Sena. Sungguh dia itu pembrani dan cantik lagi.
       Di tempat tinggi yang tersembunyi dekat pohon pisang, Ken tiarap bersama temannya memperhatikan tingkah si Upay.
       "Mau di kemanakan kayu-kayu itu ya?" tanya Suleman.
       "Dia sepertinya mau membawa kayu itu lewat sungai, karena kalau lewat jalan darat banyak polisi. Dia takut hasil curiannya ketahuan, ini mencurigakan," jawab Ken.
      "Itu bisa juga. Yang jelas kayu itu mau di hanyutkan untuk sampai ketangan penadahnya," kata Sena.
       “Itu kayu curian? Mereka pencuri kayu?” tanya Citno setengah berbisik. Teman-temannya yang sedang konsentrasi mengamati pencuri tidak menggugris pertanyaan Citno.
        Benar saja, dari atas truk ketika di bongkar satu persatu, kayu-kayu itu terlihat dihanyutkan ke sungai. Tinggal Ken dan teman-temannya penasaran sampai di mana kayu-kayu itu dihanyutkan. Ken lalu bergerak menaiki bukit lebih tinggi lagi untuk melihat jalur sungai Ciwidey.
       "Mereka itu para pencuri kayu, aku pingin tau sampai di mana mereka berhenti," kata Ken sambil terus berjalan ke atas bukit. Nampak di bawah pemandangan sungai Ciwidey meliuk-liuk melingkar menghanyutkan kayu glondongan. Sementara jauh di sana terlihat jembatan Ciantik.
        Kurang lebih sekitar setengah kilometer Ken dan teman-temannya menyusuri bukit mengikuti jalur sungai, sampailah saat di mana kayu-kayu hanyut itu berhenti dan bertumpuk-tumpuk jadi satu. Di sana terlihat ada semacam gudang besar mirip pabrik. Limaratus meter di depan gudang itu terdapat jalan Raya Ciwidey. Di halaman gudang terlihat tumpukan kayu yang sudah jadi, yaitu kayu-kayu yang sudah dibentuk sesuai dengan ukurannya, siap dipasarkan.
       "Jadi begitu ya caranya mereka?" Sena menggerutu sendiri melihat pemandangan itu.
       "Rupanya gudang itu pabrik kayu," lanjutnya.
       "Coba lihat di sana ada tumpukan kayu glondongan yang mau diolah, itu kayu albasia," kata Suleman.
       "Ya, Itu kayu legal, hasil dari kebun sendiri. Dia berani lewat jalan besar Ciwidey karena hasil kebun sendiri suratnya sudah lengkap.”
      “Tapi yang itu!" Ken menunjuk  Sungai.
      "Itu hasil Curian, ilegal. Di sana, selain kayu pinus juga banyak glondongan dari jenis kayu lain. Lihat! ada kayu jatinya juga, padahal umurnya belum cukup," kata Ken.
       "Banyak sekali kayu yang berhenti," Toto heran.
       "Mereka sedang ngangkatin ke atas dari sungai," Citno menunjuk beberapa orang sedang mengangkat kayu ke atas sungai dan ditumpuk jadi satu dengan kayu-kayu legal. Jadi seolah-olah itu adalah kayu bukan curian.
      "Ini harus dilaporkan Ken," kata Suleman.    
      "Jangan kita laporkan tapi kita akalin," balas Ken.
      "Biar yang melaporkan masyarakat saja."
      "Caranya gimana?" tanya Toto.
      "Itu di sana, lihat gak, kenapa kayu itu bisa berhenti?" tanya Ken, menunjuk tumpukan kayu yg mengambang di sungai.
      "Itu ada penahannya."
     "Penahan itu sebuah rantai kecil yang terikat di sebuah pohon!" Kata Ken lagi, sambil jari telunjuknya mengarah ke pohon kelapa yang batangnya terlilit rantai kecil tapi kuat. Rantai itu membentang panjang menyebrangi sungai, menyentuh air sungainya, lalu di seberang sungai rantai itu terikat pada pohon pete.
       "Terus?" Toto penasaran.
      Sebentar Ken diam. Dari atas bukit mereka duduk setengah jongkok bergerombol sambil memandang sungai dan pos satpam.
       "Menghancurkan mereka itu mudah, dalam sekejap mereka akan diringkus polisi dan dikeroyok massa. Caranya dengan melepas ikatan rantai penahan kayu itu,"
        "Oh itu ya?" Sena mengerti, diikuti yang lain. 
        "Jadi kita lepas sekarang rantai penambat itu?" Citno bertanya.
       "Ya, kalau dilepas maka kayu itu akan hanyut sampai jauh, lalu akan ketahuan oleh masyarakat dan aparat. Mereka, para pencuri itu tak mampu lagi untuk mengejar mengembalikan kayu-kayunya."
       "Bagus itu Ken," Citno semangat.
       "Ayo kita kerjain mereka. Aku sudah gemes!"
       "Sabar," kata Ken kepada Sena.
       "Kita atur strategi, jangan semuanya turun kesana.”
       “Begini!” Ken memberikan usul. 
       "Kita kalau turun semua ke sana untuk membuka rantai itu, peluang untuk kepergok sama malingnya semakin besar."
       "Malingnya nanti bisa teriak maling," bisik Toto kepada Citno.
        "Jadi yang mau ikut turun ke bawah dua orang saja. Aku dengan Suleman," lanjut Ken.
        Suleman setuju. Dipilihnya Suleman oleh Ken karena dalam hal apapun terlihat sirius, dia tidak suka bercanda, orangnya waspada dan teliti.
       "Jadi, kamu Sena, Toto, Citno, kembali saja ke jembatan, terus siapkan komandan anginnya dalam hitungan 45 menit dari sekarang. Maksudnya, sampai hitungan 45 menit itu kamu sudah siap berangkat dengan komandan angin, aku, Suleman, nanti akan mencoba menyusul 15 menit kemudian dengan mengejar dan naik dengan cara melompat, itu darurat paling pahit kalau terjadi apa-apa. Mudah-mudahan sih tidak terjadi apa-apa, tapi antisipasi untuk kabur dengan cepat perlu disiapkan!”
      "Siap!" Kontan Toto, Citno, Sena yang setengah jongkok memberi hormat militer kayak orang  blo’on
      Tuhkan, mereka becanda dalam posisi sedang Sirius, kesal Ken, stengahnya dia sendiri juga gak serius.
      "Ayo kita ukur 45 menit kedepan!" Ken melihat jarum jam tangannya, pukul 09.00.
      "Sena jam tangan kamu dicocokin."
      Sena lalu mencocokkan jarum jam tangan yang kontras manis dengan tangannya yang putih, disaksikan Toto, Citno yang berkerumun di belakang Sena berdesakan, mungkin mereka tidak sekedar melihat jam tangan.
      "Siap ya!" Mata Ken memperhatikan wajah teman-temannya agar serius, tapi mereka malah asik melihat jam tangan Sena, menunggu jarum tipis bergerak ke angka 12.
       Gaya militer yang sering dilihat ketika Bapak-bapak militer sedang latihan perang itu ditiru oleh Ken dan teman-teman ditempat tinggal meraka, sebuah asrama barak militer. Pelajaran itu sering juga dapat di pramuka setiap minggu di asrama. Bapak-bapak militer seperti Kak Nur berpangkat kopral sering memberi pelajaran itu. Pak guru Parwoto juga memberikan pelajaran itu. Namanya survivel, hidup di alam bebas dengan disiplin waktu, "Karena kalian memiliki tanggung jawab, minimal disiplin waktu" kata kakak pramuka.
      "Lima detik lagi! Siap ya?” Kata Ken sambil memperhatikan jam. Sena juga memperhatikan jam di lengan putihnya. Sedikit Ken mencuri pandang wajah Sena yang sedang serius memperhatikan jam.
      Wajah cantik di alam buas, batin Ken. Ketika dilihat rambutnya lepas jatuh dari telinganya ke pipi putih, dan bergantung di sana.
      Sena lalu melirik Ken. Tabrakan mata terjadi, Ken matanya lari. Astaga! Waktu! Pantesan tadi dia melirik aku, pikir Ken.
      "OK! Jalan," Ken gugup, sambil berusaha berdiri, walau tahu waktu telihat lebih tiga detik gara-gara memandang Sena.
      Citno, Toto dan Sena langsung jalan, walau Sena sempat melirik Ken sekali lagi atas kelebihan waktu tiga detik tadi. Tiga detik yang mendebarkan buat Ken, tapi buat Sena, mata itu mata protes kelebihan waktu. Ken saja yang GR.
       Ken langsung menuruni lembah menuju sungai sambil mengendap-ngendap, sesuai rencana. Suleman, sabagai pengawas pendukung berada di belakang Ken. Matanya menyapu situasi, te ngak-tengok kesegala penjuru. Diam di sudut pohon rimbun. Sasarannya adalah pohon kelapa yang ada ikatan rantai itu. Mengendap-ngendap masuk ke satu pohon, masuk ke pohon lainnya, terus begitu. Berhenti lagi.
      Sementara Toto, Citno dan Sena sedang setengah berlari menuju jembatan Rancagoong, menyusuri jejak awal langkah tadi melewati kebun-kebun palawija. Ada tikungan satu kali lagi batas desa itu sudah sampai. Dari sana baru jembatan Rancagoong akan terlihat.

       Pukul 09.15.

       Ditempat lain Ken 25 meter lagi hampir sampai pada pohon kelapa. Tak ada suara riak sungai. Sungai ini amat tenang, setenang kayu gelondongan yang diam terapung.
       Kuncinya hanya itu, pikir Ken, menatap simpul rantai yang melilit pohon kelapa.
      "Kamu awasi tempat ini Man, perhatikan sekitar. Aku mau buka rantai itu," bisik Ken, dadanya sudah berdebar kencang.
     Tanpa mendengar jawaban Suleman, Ken langsung keluar dari persembunyiannya menuju pohon kelapa. Dia berlari lalu berhenti persis di pohon kelapa. Sementara Suleman mengamati sekitar dengan lebih waspada, takut kalau ada orang dari kelompok pekerja kayu datang.
      Dan benar! radar panca indra Suleman segera menangkap dua orang sudah menuruni lereng hendak menuju Ken yang tengah membuka simpul rantai. Mereka, dua orang berseragam putih biru itu sedang santai mengobrol. Badannya yang satu agak gemuk yang satu lagi kurusan dan lebih tinggi.
       Ini gejala buruk, pikir Suleman, langsung saja dia berlari keluar dari persembunyiannya menuju Ken.
       "Ada orang!" kata Suleman kepada Ken yang sedang sibuk membuka simpul rantai.
       Tanpa pikir panjang, mereka berdua langsung berlari menaiki bukit, menghindar.   
      Sayang, ketika sedang berlari menaiki bukit, salah satu dari dua orang itu melihat Ken dan Suleman, "Hoi!! Bocah ngapain kamu!?" 
     "Hoi! Sedang apa kamu!" sekali lagi. Mereka tidak berteriak maling-maling seperti pada umumnya, karena yang dilihat hanyalah remaja tanggung atau mereka sendiri tidak enak hati, karena maling sebenarnya ada di tempat ini.
       Menyadari ada orang asing berlari terbirit-birit mereka jadi penasaran, mau apa remaja tanggung  itu? Tak cukup berteriak –yg mungkin kurang keras– mereka meniupkan pluit. Rupanya kedua orang berseragam putih itu adalah satpam pabrik kayu.  
       Di tengah bukit yang sepi suara pluit itu khas dan mudah terdengar, sehingga kawannya yang berada ditempat lain segera keluar dari gudang kayu. Yang sedang main domino berdiri. Yang sedang tidur dibangunkan. Mereka para pekerja kayu itu berlari menuju sumber suara pluit tadi, bertemu satpam lalu bertanya-tanya. Sang satpam menjawab dengan telunjuk tangan kepada Ken dan Suleman yang tengah berlari menaiki lereng bukit, menerobos kebun dan semak. Jalan setapak petani sudah tak dihiraukan lagi, mereka terus berlari, pagar Kebun singkong dan kacang tanah di loncatin, persis seperti rusa di kejar macan.
      Pekerja dan satpam kayu dengan alasan penasaran berusaha mengejar, tapi nampaknya sudah kalah jauh. Jarak sudah tak bisa dijangkau lagi. Yang mengejar terutama satpamnya tak mau menyerah, karena pikir mareka akan menerima resikonya kalau remaja baru gede itu melapor warga nanti. Mereka para pekerja, khususnya satpam kayu belum tahu alasannya. Seharusnya tempat ini terlarang untuk didatangi orang, tapi remaja tanggung itu luput dari pengawasan, dan mencurigakan, itu yang membuat dua orang satpam penasaran dan nekad terus mengejar.
       Ken dan Suleman sampai pada tikungan batas desa, dimana akan terlihat jembatan Rancagoong. Sambil berlari ken melihat jam tangannya.

       Pukul 09.30.

       Ken memperkirakan teman-temannya yang lebih dahulu sampai di jembatan sudah menyiapkan komandan angin sesuai dengan rencana.
       Seperti harapan Ken, di tempat yang tersembunyi di atas jembatan yang bagian tepinya tertutup pohon bambu, Sena dan Citno sudah stand by di kursinya masing-masing. Melihat dengan harap-harap cemas ke arah tikungan jalan setapak di ujung bukit. Sena melihat jam tangannya berkali-kali, sebelum akhirnya Ken bersama Suleman muncul di tikungan sedang berlari menuruni bukit, meninggalkan debu kebun berterbangan di belakangnya.
      "ITU KEN!" teriak Sena.
      Toto segera mengambil posisi siap mendorong, start.
       Kaki Sena dan Citno berada diposisi stand by diatas pedal, siap dikayuh. Tinggal menunggu di dorong oleh Toto. Pada awal gerak komandan angin memang harus didorong sedikit sebagai simultan gerakan tekan pedal di bagian kaki.
      Ketika Ken bersama Suleman semakin mendekat, jarak tinggal 50 meter lagi, komandan angin segera di dorong oleh Toto, dibantu Sena dan Citno mengenjot pedalnya. Sena memperhatikan si pengejar satpam itu nampak seperti orang putus asa. Mereka tertinggal jauh, nafas mereka megap-megap terlihat dari sebentar-sebentar berhenti membungkuk.
       Ken dan Suleman berlari tinggal sepuluh meter lagi mendekati komandan angin. Toto mempercepat langkah mendorongnya sambil di bantu Citno dan Sena dengan genjotan pedal. Ken dan Suleman yang sudah sejajar dengan komandan angin mengambil posisi di dekat kursinya masing-masing sambil berlari. Diawali Suleman yang sudah melompat duduk di depan, kemudian disusul Toto berlari, sekali lompatan duduk di depan Sena.
      "Ayo Cepat Ken!" Teriak Sena.
      Tinggal Ken terakhir memburu komandan angin dan hup! Ken sudah berdiri diposisinya, di belakang layar komandan angin, melihat jam tangannya.

       Pukul 09.45.

       Komandan angin melesat kencang, karena tenaga pengayuh pedalnya bertambah dua. Terus melaju mengikuti jalur rel kereta api dengan mulus. Sementara Ken di belakang masih sibuk mengatur nafasnya. Sena sempat memperhatikan itu. Komandan angin melaju terus masuk hutan bambu di daerah Cisondari, sebelum masuk lagi hutan cemara yang udaranya terasa mulai sejuk. Komandan angin luput dari kejaran satpam. Mereka menuju kebun kayu Pak Hasan.




bersambung













Rabu, 12 April 2017

cerpen: Sendiri bersama aku

Sendiri bersama aku


Sebagian besar orang muda kota yang berjiwa petualang,
ingin hidup dihutan. Tapi banyak yang gagal.
Pak Hasan bisa sendiri, berteman hati.
Berbicara dengan hati.
Mencintai hati.
Sendiri.
dan
aku



Berteman sepi dan menikmatinya. Manusia yang langka. Jarang ada orang seperti Pak Hasan, yang menganggap hutan kayu sudah seperti rumahnya sendiri. Tidak ada hiburan di sana, kecuali sebuah radio tua empat ban, dengan tombol putar tuning besar, yang selalu tergantung di dinding depan gubuknya. Bila dibunyikan yang sering terdengar adalah suara gelombang gemeresek sepanjang jalur programnya. Lalu sekali mendapat gelombang yang pas, terdengar penyiar membacakan berita sepanjang hari. Itulah siaran radio RRI.
        Tanah hutan yang selalu lembab dengan daun-daun basah yang lama kering adalah tanah subur yang disenangi petani, karena mudah diolah dan warnanya cenderung kehitaman. Tidak susah mencari makanan nabati di hutan yang diolah dengan baik itu. Di kebunnya tidak akan mungkin kelaparan. Bila nasi menjadi langka, masih ada ketela pohon, ubi dan jagung. Pak Hasan sering malakukan itu. Dia tak bergantung kepada makan nasi, walaupun sebenarnya dia mampu membeli beras. Dia adalah bagian dari alam dan mencintainya.
        Pagi sebelum turun ke kebun, usai sholat subuh yang dingin dan gelap, dia keluar untuk membuat api unggun kecil di halaman gubuknya. Beberapa kayu kering disiapkan, dikumpulkannya di tengah lingkaran kecil batu untuk api unggun. Pak Hasan membakar kayu itu sambil memasak air di ceret hitam. Beberapa singkong dimasukan kedalam bara api.
        Dengan topi woll hitam model bayi di kepala, jaket hitam, dan sarung yang tersampir di pundak, Pak Hasan menunggu air mendidih dan singkong bakar matang. Dia duduk di batu, meringkuk sambil menjaga api. Biasanya yang lebih cepat matang adalah air yang terpanggang di ceret. Dia dengan santai membuat kopi, setelah itu mengambil papir, manaruh beberapa tembakau, menggulungnya di atas paha dan menjiladnya sebagi lem. Bara api segera membantu menyalakan rokok lintingan.
       Phusssss.... asap mengepul dari bibirnya. Sruputtttt…. seteguk kopi hangat membasahi tenggorokannya.
       Tinggal menunggu singkong panggang. Beberapa di antaranya sudah nampak matang. Pak Hasan menyingkirkannya, lalu membelah. Asap tipis mengepul dari singkong empuk berwarna kuning. Pelan tapi pasti singkong hangat itu dikunyah sambil menunggu matahari pagi terang.
        Sruputtt. . . seteguk kopi mendorong singkong di tengorokannya. Phussss. . .  rokok lintingan dihembuskan.
       Nikmatnya sendiri dihutan kayu.                       
       Suara burung sudah terdengar bernyanyi. Langitpun nampak bersinar tipis. Gelas kopi dikepal oleh dua tangan di dalam sarung agar panasnya tak segera hilang. Sejenak Pak Hasan menikmati suara alamnya. Itulah hiburan pagi, sebelum kemudian mendengarkan berita pagi pukul enam dari radio siaran RRI:

         …..Pasar induk keramat jati.
        Kol gepeng harga perkilo limaratus rupiah.
        Wortel tanpa daun harga perkilo delapan ratus rupiah.
       Tomat gondol harga perkilo limaratus rupiah.
       Jagung pipilan harga perkilo dua ratus rupih.
       Jagung manis harga perkilo tigaratus rupih…..

       Masih belum berubah, batinnya, ketika mendengar harga jagung sudah satu bulan nilainya masih sama. Dia lalu beringsut mengambil pacul dan parang. Matahari sudah beranjak terang. Pekerjaan hari ini adalah membuat parit air disepanjang kebun jagungnya. Pelan dia mulai pagi ini dengan pekerjaannya mendalamkan parit yang sebenarnya sudah ada. Didalamkan sedikit untuk drainase pengairan, agar bila musim hujan nanti air dapat mengalir dengan baik di kebunnya.
       Lama Pak Hasan bekerja dengan posisi mundur sambil mengeruk sisa tanah. Diangkat lalu ditaruh di sisi parit kanan dan kiri. Terus mundur diantara deretan pagar singkong. Berbelok ke kanan ketika bertemu sudut pagar yang bersebelahan dengan tanaman jagung. Berbelok lagi ke kiri di sudut yang besebelahan dengan kebun kacang tanah. Berbelok lagi di sudut pagar tanaman ubi jalar. Kalau dipikir-pikir ada di kebun Pak Hasan rasanya seperti dalam labirin tanaman pagar hidup seperti taman.
      Pekerjaan mendalamkan parit mendadak berhenti di dekat pagar kebun ubi jalar.
      Hmmmmm, ini ulah babi hutan, pikirnya, kepada pagar yang rusak porak poranda. Di sana terlihat banyak jejak kaki babi hutan.
       Babi hutan mamang masih banyak di hutan Ciwidey. Babi itu warnanya hitam dan hidup saling berkelompok. Biasanya babi hutan berkelompok satu keluarga, terdiri dari induk, pejantan, dan anak-anaknya. Kelompok itu jumlahnya bisa mencapai dua belas ekor lebih.
       Pak Hasan lalu masuk ke kebun ubi jalarnya. Nampak guludan ubi jalar lima jalur sepanjang tigapuluh meter, hancur oleh babi hutan. Binatang itu memakan ubinya, nampak dari serpihan-serpihan sisa makanan yang tak terkunyah berceceran di kebun. Dia diam lama memandangi kebunnya, otaknya berpikir mencari jalan keluar untuk mengatasi hama babi ini.
       Hama bertubuh besar ini sudah berulangkali menghancurkan kebunnya, hampir setiap musim panen. Tahun lalu yang di rusak adalah tanaman jagungnya, sekarang tanaman ubi. Babi itu harus diberikan pelajaran. Saya sudah bosan dikerjain babi, batin Pak Hasan. Hatinya kesal, sangat kesal. Awalnya memang dia tidak pernah peduli dengan kerusakan yang terjadi di kebunnya, karena selama itu yang dirusak hanya sedikit. Tapi sekarang sama seperti dengan tahun lalu, babi-babi itu memporak porandakan kebunnya yang sudah siap panen.
       Pekerjaan mendalamkan parit dilanjutkan sampai selesai ke pinggiran kebun dekat gubuknya, kemudian Pak Hasan mampir ke gubuknya sekalian mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan babi. Setelah itu dia kembali lagi ke kebun ubi dengan perlengkapan parang tajam yang sudah tersampir dipinggang, tombak runcing juga sudah tersampir di punggungnya, tak ketinggalan juga tali plastik besar. Dia harus melawan hama babi itu. Jejak-jejak babi di kebunnya ditelusuri sampai ke hutan kayu.
        Dengan tombak, semak yang tinggi di kibas-kibas, berharap ada petunjuk jejak babi di sana. Tapi itu sulit, karena semak bercampur rumput tidak meninggalkan jejak apapun. Di atas rumput jejak babi itu hilang.
        Ini dia…Pak Hasan  tiba-tiba jongkok di pinggir hutan. Dia melihat jalan babi di genangan air selebar tampah. Jejaknya cukup banyak. Genangan air itu nampak kumuh dan bau, warnanya sudah hitam menyerupai genangan air got.
        Genangan air ini yang mengundang warga hutan seperti babi mampir untuk sekedar minum. Mudah-mudahan hanya babi, monyet, dan burung yang mampir ke sini. Jangan sampai ada macan, karena pernah ada warga yang melihat macan atau meong di tempat ini, batin Pak Hasan, sambil memandang jauh kedalam hutan. Otaknya berpikir mencari cara untuk menangkapnya.
       Sebaiknya dibuat jebakan dengan tali, batinnya.
       Dia lalu mencari pohon di sekitar itu yang mempunyai dahan ranting panjang. Setelah dapat yang cocok, diikatnya ujung dahan panjang itu dengan tali plastik. Ditariknya tali plastik itu agar dahannya melengkung. Setelah lengkungan cukup kuat, di bawah tanah disiapkan simpul tali yang sudah di ganjal dengan dua patok kayu, lalu di ujung tali dibuatkan jerat selebar piring, di mana di tengah-tengahnya di siapkan kayu ranting jungkitan. Kayu jungkitan di tengah simpul hidup itu, bila kesenggol akan lepas oleh tarikan dahan kayu yang melengkung dan menarik lingkaran tali plastik hidup. Bila ada kaki disana, maka langsung menyeret kaki babi sampai bergelantungan di pohon. Semoga dahan kayu ini kuat menahan berat babi.
       Setelah semua siap, Pak Hasan memberikan umpan babi disekitar tali plastik berupa ubi yang sudah dipotong-potong. Lalu pulang ke gubuknya dengan harapan akan mendapatkan babi terjebak di sana.
        Buat pelajaran, sebab biasanya binatang akan cepat takut dengan kejadian yang mengejutkan, lalu kapok datang lagi ke kebunnya. Untuk babinya kalau dapat di jebak, dia akan serahkan kepada warga, biar warga saja yang mengurusnya. Sebab banyak juga orang disekitar sini yang senang menangkap babi lalu di jual kepada orang Tionghoa yang boleh mamakan dagingnya.
***

        Biasanya setelah sholat isya Pak Hasan sudah duduk santai sendiri di dekat perapian sambil minum kopi dan merokok papir lagi.
        Phusssss. . . kepulan asap papir cepat lenyap di bawa angin malam. Untuk menambah kehangatan, radio empat ban diputar. Siaran berita radio RRI segera berkumandang melaporkan berita kinerja kabinet pelita ke empat.
        Sambil menunggu nasi matang yang dimasak dengan cara digantung di atas perapian, Pak Hasan mendengarkan berita malam tentang kegiatan beberapa mentri yang mengadakan rapat kabinet di Binagraha, yang diteruskan dengan laporan khusus mentri penerangan merangkum hasil rapat khususnya tentang kinerja pembangunan pelita empat.
        Berita laporan kabinet berakhir dengan mendendangkan lagu keluarga berencana sebagai penutup:

        (musik pembuka)
        keluarga berencana  
        sudah waktunya
        janganlah diragukan lagi
        keluarga berencana
        besar maknanya……

        Siaran radio RRI masuk ke acara lagu daerah.
        Pak Hasan mengangkat nasi di periuknya yang sudah matang, lalu perlahan dan dengan santainya dia mengoreng ikan asin di dingin malam.
       Dendang musik jaipong terdengar di radio, tapi Pak Hasan asyik sibuk sendiri. Gemeretak suara kayu yang hangus terbakar dan desis minyak goreng ketika ikan asin digoreng, menambah keceriaan di suasana sepi. Harumnya membuat seketika perutnya menjadi lapar. Dia masih bertahan menunggu sambal kocok. Diambilnya cangkir bambu yang menyerupai tempat minum, garam, tomat, cabe merah, cabe rawit, dan sedikit gula merah. Bumbu itu dimasukan kedalam bambu, lalu ditumbuk dengan kayu yang khusus di buat pengganti ulekan.
       Dua potong ikan asin kering sudah diangkat dari wajannya. Sepiring nasi hangat sudah mengepul, tinggal sambal kocoknya diletakan dipinggiran piring. Kumplit!
        Air liur pak Hasan sudah mengumpul di mulutnya, lapar sudah menggaruk perut dan napsunya. Sendiri dalam dendang jaipong siaran RRI, di dalam hutan kayu yang sepi, Pak Hasan berpesta.         
       Malam itu setelah kantuk datang membelai mata, Pak Hasan tidur ditemani suara jangkrik dan burung malam. Suara satwa yang aneh, yang biasa di dengar tak melunturkan kantuknya. Nun jauh di atas pepohonan sana bulan sedang bersinar terang. Bintang bertebaran berkilau. Dalam tidurnya Pak Hasan seperti utuh, kerut wajahnya lepas tak keruh. Dia benar-benar tertidur dalam belaian malam yang dingin. Tak ada yang dipikirkan untuk kegiatan esok hari, tak ada tuntutan yang memaksa. Hidupnya adalah alam yang bebas. Dia bekerja karena dia suka dan mampu. Fisiknya masih kuat walau usianya sedang mendekati angka empat puluh lima. Dia mencintai dunianya, hidup dengan bertani adalah jiwanya. Bekerja hingga larut malam bukanlah beban. Lalu sholat yang dia tekuni itu adalah nyawa yang sudah dipelajarinya sejak kecil, dia hidup bahagia dengan sepi.
       Sampai ketika teriakan binatang aneh terjerat oleh jebakannya. Lolongannya tak mengusiknya dari tidur. Padahal seekor babi dewasa ukuran sedang sudah berayun-ayun di dahan. Melolong menakutkan. Bergerak sekuat tenaga pun percuma karena tak menyentuh tanah. Binatang itu hampa tak bertenaga karena tak ada pijakan. Taringnya abu-abu kotor nampak lebih dominan di mulutnya. Air liurnya berceceran, matanya tajam menusuk, dengusnya dan lolongannya mengerikan, seperti jeritan setan. Jeritan itu yang membuat satwa lain mejauh dari kebun Pak Hasan. Hanya anjing liar yang dapat mengerti irama lolongan setan, lalu anjing liar itu membalas melolong. Suaranya terdengar sayup-sayup membuat merinding.       
       Ketika pagi datang, Pak Hasan sudah di depan api unggun kecil sambil ngopi seperti biasa.
       Suara babi yang tergantung kelelahan menjerit, membelah sepi.
       Pak Hasan tersenyum.
       Di pagi ini kalau ada suara babi, itu berarti jeratannya berhasil mengenai sasarannya. Pak Hasan tak segera melihat babi itu, dia terus melajutkan rutinitas paginya sampai sarapan singkong bakarnya selesai. Lalu dengan tombak di tangan dan parang di pinggang, pukul tujuh dia mendatangi binatang itu.
       “Kena kau bedebah”, bisik Pak Hasan, kepada seekor babi yang sedang bergantung di dahan jambu air besar.  


Senin, 20 Maret 2017

Cerpen: Camellia Titipan Tuhan

Camellia tea


       Mendung sore ini diperkirakan akan segera turun hujan. Tidak ada masalah buatku, karena aku sudah persiapan. Seperti pulang dari kursus bahasa Jepang hari ini, aku ingin lebih cepat sampai kerumah ketimbang ngobrol berlama-lama dengan teman di lobby.
       Aku memang paling suka menikmati hujan sore di rumah. Ada ritual yang biasa aku lakukan di sana bila melihat hujan. Ritual pribadi yang menurutku mampu membuat aku kembali bersemangat untuk menjalani hidup. Dan parcaya atau tidak, ritual itu dapat mewujudkan impianku?  Walau tidak sempurna benar.
       Kalau sore turun hujan, biasanya aku duduk di meja belajar dekat jendela kaca. Dengan sweeter di tubuh aku memandang hujan. Melihat rintik hujan yang menari-nari bersama daun yang luruh, ada kesan tersendiri buatku. Sementara AC ruangan tempat dimana aku duduk, sengaja tidak dimatikan walaupun cuaca di luar dingin. Kamarku yang dominan putih itu terasa seperti di atas gunung: Dingin sekali dan segar sekali. Aku suka itu.
       Sudah kebiasaanku, bila sedang memadang hujan sore dari jendela harus dengan makanan ringan dan secangkir teh hangat, ini cara ritualku. Maka aku bergegas mengambil tiga buah donat yang dibeli tadi. Sekotak donat aku taruh di tengah meja belajar diantara dua kursi berhadapan.
       Agar nuansa ritual lebih bernilai seni, aku siapkan juga barang kuno media teh seperti teko dari tembikar buatan 1932, milik nenekku. Lengkap dengan piring tatakan dan wadah teh yang semuanya tembikar berwarna coklat tua.
       Aku menyiapkan teh special kesukaanku, white tea. White tea adalah jenis teh yang diambil secara khusus dari daun teh pucuk di puncak tertinggi di atas 1000 m dpl (di atas permukaan laut), di daerah Pengalengan. Diambil paling pagi pukul empat, ketika udara paling dingin dan daunnya diambil paling pucuk: dua daun di atas masih menggulung (sangat muda). Orang biasa menyebut pucuk peco.
       Aku menaburkan daun teh kering white tea itu ke dalam cangkir tembikar dan menuangkan air mendidih 80 derajat ke dalamnya. Sementara hujan semakin deras terlihat dari kaca jendela, aku memandang kursi kosong yang berhadapan di meja belajar, berharap disana ada seorang lelaki yang sedang menemaniku minum teh, khayal membawaku terbang.
       Dingin yang membeku di dalam kamar, dengan secangkir white tea yang harum melati, aku merasa hidupku paling sempurna. Terlebih lagi bila kursi kosong dihadapanku itu terisi, duduk seorang pria yang aku cintai. Musik instrumental fluit mengalun lembut, el condor pasa. Pelan aku pejamkan mata untuk merasakan kenikmatan ini.  Kalau sudah begitu biasanya tumbuh rasa percaya diri dari sifatku yang sedikit urakan untuk menjadi  perempuan yang lembut. Ini mungkin sugesti dalam suasana yang kubawa romantis. Dalam kejenuhan hidup kadang aku merasa ingin lari ketempat seperti ini ditemani kursi kosong khayalanku.
       Aku memandang hujan yang dingin di luar. Sementara AC di kamar tak juga dimatikan. Sepintas dari kaca jendela yang sedikit berembun, aku melihat seorang lelaki sedang berteduh di garasi mobil rumahku. Kaca jendela kamarku ribben, orang tidak bisa melihat ke dalam tapi aku yang di dalam bisa melihat ke luar, termasuk gerak-gerik laki-laki itu.
       Dia berpakaian putih bersih yang nampak basah terlihat dari kaus dalamnya yang membekas di pungung. Seperti pagawai kantoran yang pulang kehujanan, aku melirik jam diding pukul 17.00. Tubuhnya sedikit tinggi, lengan kemeja putihnya digulung sebatas siku, dan motor vespa jelek tersandar disebelah kanannya. Sejak tadi kepalanya di tundukan. Dia seperti sedang bersedih. Aku jadi iba melihatnya.
       Betapa tidak iba, aku di dalam kamar menikmati hidup dengan indahnya, tapi diluar sana seorang lelaki nampak sedih di tengah hujan. Lewat kelemahanku yang tidak tegaan ini, aku segera melirik donat dan mengambil satu cangkir tembikar lagi. Aku berniat mengajaknya berteduh di teras depan rumah, agar dia tidak banyak tertunduk seperti itu lagi. Aku  lalu menghampirinya.
      “Mas maaf, sini di teras jangan di situ!” teriakku.
       Lelaki itu agak kaget dan menoleh kearahku.
       Astaga… dia mirip sekali dengan Sahrulkhan, bintang papan atas India kesayanganku. Dia  lebih muda dan sopan sekali.
      “Trimakasih mbak,” dia membungkuk  dan tersenyum kepadaku.
       Alamakkkkkk, dia Shahrulkhan sungguhan. Tuhan, kuatkan hati ini, aku minta perlindungan-Nya, karena aku sadar dengan sifatku yang mendadak konyol kalau ketiban rejeki. Aku langsung  menaruh teh dan sebuah donat di meja teras.
       “Sini Mas, jangan malu silahkan,” ajakku lagi, agak maksa. Mulai keluar sedikit sifat urakanku.
       Dengan malu-malu lelaki itu datang menghampiriku dengan gaya yang sopan, sambil mengulurkan tangannya kepadaku, memperkenalkan diri.
       “Muara,” dia menyebut namanya.
      “Bening.” Kataku menyebutkan nama sendiri.
      “Putik Bening Alamanda,” aku tambahkan lagi biar lengkap, hmm…kenapa aku ini ya? dia kan tidak tanya nama lengkap.
       “Namanya bagus sekali, seperti orangnya, ” dia mencoba ramah.
       “Mas juga bagus namanya,” balasku, seketika. Asal bicara, tidak konsentrasi. Astaga Bening…..?
       ”Diminum airnya mumpung hangat,” tawarku, membuka kebisuan.
       “Trimakasih,” dia lalu mengangkat cangkir teh dan menempelkan ke bibir. Seteguk teh itu meluncur di tenggorokannya yang bergerak. Dua teguk, dia memejamkan mata sambil menghembuskan nafas kedalam cangkir. Dalam posisi masih meneguk minum dia menghirup wangi tehnya. Tegukan ke tiga dia benar-benar menikmati teh buatanku.
       “Ini teh putih. Rasa ini tidak banyak dijual. Hanya orang tertentu saja  yang punya dan harganya mahal. Aku suka sekali teh ini.”      
       “Oh  iya, Muara penggemar teh juga ya?”
       “Iya, tapi tidak fanatik. Aku suka dengan seni. Sampai cara minum teh pun sedikit tahu. Seperti cangkir ini, wadah yang pas untuk minum teh,” katanya.
       Ya Alaahh, kenapa dia sama kesukaannya dengan aku? Tuhan berikan dia untukku untuk mengisi kursi kosong putih di kamarku itu. Dia sudah mapan menjadi kepala cabang di sebuah bank, tapi dia tetap sederhana. Lihatlah dia berkendara dengan motor vespa yang sudah jelek.
      Itulah penyelidikanku tentang lelaki asing mirip Sahrulkhan. Aku belum menyelidiki apakah dia sudah punya pacar atau istri yang setia? masa orang seganteng itu tidak ada yang naksir, aku penasaran. Maka pada suatu hari aku menanyakan.
       “Tapi benar nih masih sendiri…?” Aku bercanda.
       “Emang ada yang mau dengan aku yang bawa motor jelek itu?”  
       “Loh siapa tau…”
       Siapa tau itu ternyata aku, Putik Bening Alamanda. Gara-gara teh dia jadi sering datang kerumah dengan motor jelek itu. Dia bilang dan yakin aku adalah jodohnya. Karena teh itulah yang membuat dia jatuh cinta kepadaku. Teh yang aku sajikan kepadanya ketika itu mahal harganya, dan hanya boleh disajikan pada tamu terhormat. Itu berarti aku orang yang baik hati dan tulus. Menurutnya orang seperti aku sudah jarang. Hatiku berbunga. Itu terjadi setelah tiga bulan dia sering kerumahku tiap malam minggu. Tapi kenapa masih membawa motor vespa jelek?
      “Muara, aku mau tanya boleh?”
      Sambil siku tangannya bertopang pada dengkul kaki dia menoleh padaku, “Boleh.”
      “Jangan tersinggung ya, beberapa minggu ini kamu kok berani sih datang kerumahku dengan motor jelek begitu?” kataku ceplas-ceplos, urakan.
       Muara bersandar pada kursi sofa, “Aku yakin kamu tidak menilai dari motor yang kubawa,” dia menatapku teduh. “Sejak pertama kali kita bertemu waktu hujan dulu, cara berpakaian yang kamu pakai itu sudah menunjukan bahwa kamu bukan orang sembarangan.”   Aku tersenyum senang.
        Lalu katanya, “Kamu punya banyak nilai lebih. Gaya kamu yang urakan itu adopsi dari pergaulan di kampus kan? Kamu pandai memilih dengan benar dan pantas. Termasuk menilai aku diri sisi manusianya. Bukan kekayaannya.”
        Muara beralih memandang motor vespanya.
       “Kalau kamu tidak suka, sudah sejak dulu mungkin dalam minggu ke dua kedatanganku, kamu sudah menutup pintu rapat. Tapi ini sudah minggu ke 14. Kita sudah jalan-jalan ke banyak tempat dengan motor jelek itu. Kamu rasanya masih sempurna saja. Itu semua manifestasi melihatku dari sisi manusianya. Jadi jujur aku pingin hidup bersamamu,” dia menatapku. Pada kesempatan itu aku mengusap punggungnya, membelai rambut belah tengahnya. Kepalaku aku sandarkan ke bahunya.      

***

      Well, aku akhirnya menikah setahun kemudian dengan Muara, walau kuliahku di bilangan Depok ditinggalkan menjelang skripsi. Rencananya aku akan lanjutkan setelah urusan rumah tangga sudah tenang.
       Ternyata menikah itu enak juga, ya? Kata teman yang pernah aku dengar, menikah itu memperpendek umur. Buatku menikah malah memperpanjang umur. Tergantung sih dengan siapa menikahnya. Kalau dengan harimau, ya betul juga sih.
       Tapi maksudku lihat-lihat dululah dengan calon pendamping hidup, kita kan punya strategi dan insting. Ada banyak temanku yang bilang tertipu dengan suaminya sendiri, itu siapa yang salah ya? Waktu pacaran kelihatan keren bawa mobil gress, ngajak mondar-mandir keliling kota. Tidak lagi dicek and ricek siapa itu lelakinya. Tak tahunya supir angkot. Dulu dia ngakunya PNS, kata temanku.         
       Menurutku menikah dengan Muara itu indah sekali. Saking indahnya sampai aku jadi rajin sholat lima waktu dengan khusuk. Aku dan suami senang dengan sholat berjamaah bila kebetulan di rumah. Karena sholat berdua bagian dari seni keindahan juga, sama indahnya seperti seni ritual minum teh.  
       Begitulah pernikahanku bersama Muara. Jadi segala rupa dan makna dalam hidup aku apresiasikan dalam seni. Kami yang pencinta seni ini, menahan marah dan sabarpun kami nilai dengan seni. Dan harus sering berucap dalam hati, ‘indahnya menahan napsu.’ Sehingga kami jarang bertengkar. 
        Nilai seni yang lain misalnya, tentang seorang anak bayi umur satu tahun sudah bisa memanggil nama ibunya dengan kalimat, “Mama…Papa,” itu adalah kalimat merdu paling indah yang aku dengar. Suamiku punya persepsi yang sama, sehingga kami sudah delapan tahun merindukan seorang bayi dan merindukan panggilan itu.

***

       Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, memang. Pernikahanku dengan Muara sudah berjalan delapan tahun lebih. Tapi aku belum dikaruniai anak. Segala cara sudah dilakukan dari dokter kandungan yang menyatakan aku dan suami sehat, sampai pengobatan alternative. Aku diharuskan menunggu. Sabar dan sabar.
       Hingga pada suatu hari kami mengambil keputusan yang mengejutkan semua orang, terutama keluarga dan teman terdekatku. Kami akan berpisah, bercerai dengan baik-baik. Sesuatu yang sangat berat sebetulnya, karena Muara sangat cinta kepadaku. Aku istrinya sangat tahu itu. Dia sebenarnya siap saja hidup tanpa anak bersamaku. Tapi orang tua Muara, terutama ibu, tidak berpikir seperti itu. Katanya itu adalah aib keluarga besar. Kami harus berpisah.
       Empat bulan sepuluh hari, masa idahku sudah lewat sejak berpisahan dengan suami yang aku cintai. Banyak perubahan sudah dalam hidupku. Muara sudah menikah lagi dengan gadis pilihan orang tuanya. Tapi aku tidak berpikir itu. Aku tidak berpikir cari suami baru. Aku berpikir hanya kepada perutku yang baru disadari seminggu yang lalu. Aku hamil.
       Tuhan mungkin berkehendak lain. Inilah jalanku. Hidupku. Justru pada saat-saat terakhir kami bersama suamiku bercinta, saat itulah Tuhan memberikan titipan-Nya. Dalam perutku ini ada buah cinta kami. Muara tidak tahu itu, aku takut mengganggu keutuhan rumah tangga barunya.

***

       Sekarang di jendela putih sebuah kamar, aku memandang hujan kebiasaan ritualku. Secangkir teh tembikar lengkap dengan tekonya menemani, white tea. Di luar sana hujan semakin deras, membentuk kabut dan tiupan angin membawa daun kering terbang. Sepintas aku melihat sosok berbaju putih berdiri lagi di garasi. Dia baru pulang kerja nampaknya. Momen itu sengaja aku tunggu. Dialah anak perempuanku yang sudah menjelang dewasa dan sudah pula bekerja di Bank. Namanya aku ambil dari nama latin teh, untuk mengingatkan kebiasaan ritual kami bersama papanya dulu minum teh dimusim hujan. Papanya yang telah mengisi kursi kosong putih itu.
       Anak gadisku itu aku beri nama Camellia Tea.
      “l love you Tea…”


Depok, 26 Desember 2016.